Cerpen Mashdar Zainal (Kedaulatan Rakyat, 20 Mei 2018)
MENJELANG akhir dunia, akan datang bah yang sangat besar. Seakan tak ada bah yang lebih besar dari itu. Bah yang berasal dari ceruk-ceruk air di muka bumi, yang dijungkal ke darat. Ketika itu, rumah-rumah bakal terbongkar dilabrak arus. Luluh lantak. Menyisakan rangka-rangka yang mengambang di permukaan. Pohon-pohon tercerabut dari tanah, genap dengan akar-akarnya yang lunglai, daun-daunnya yang geripis dikucek air bah.
Jangan tanya seperti apa keadaan para manusia, sebab yang kokoh dan sekeras baja pun porak poranda. Lalu apa yang tersisa? Yang tersisa hanya masjid-masjid, ya, hanya rumah Tuhan. Ketika bah bandang itu menghantam, masjid-masjid akan bergeming, lalu bergerak perlahan, bagai seseorang yang meregangkan otot dan sendi-sendi setelah lama berdiam. Lalu, masjid-masjid itu akan terangkat dari tempatnya. Bagai gabus raksasa yang ringan. Lalu bergoyang-goyang di atas riak air bah. Orang-orang di dalamnya riuh rendah, menyeru nama Tuhan dengan dada berdebar-debar. Beberapa menangis, diliputi keharuan, memikirkan anggota keluarga mereka yang tidak selamat. Sebab, di masa-masa yang lalu, mereka enggan diajak sowan ke rumah Tuhan. Mereka enggan diseru belajar naik perahu.
“Adzan sudah kumandang, Nak. Ayo ambil sarungmu, pakai pecimu, ayo naik perahu,” ujar seorang ibu pada anaknya, di masa silam.
Dan anak itu, masih melongo di depan mesin kotak yang mengeluarkan cahaya, mempertontonkan gambar bergerak yang tak ada habisnya. Memperdengarkan bunyi-bunyian yang tak ada hentinya.
“Ayo, Nak. Ibu tak perlu menyeretmu, sebab kau sudah terlalu bongsor untuk diseret, dan otakmu juga sudah bisa digunakan dengan baik.”
“Ibu cerewet sekali,” dengus si anak.
“Dengar, Nak. Kelak, akan datang banjir bandang, dan masjid-masjid yang kau datangi itu akan menjadi perahu yang menyelamatkanmu. Tapi, kau harus pesan tiketnya jauh-jauh hari. Cukup pergi lima kali sehari.”
“Iya, saya dengar. Ibu sudah menceritakan itu puluhan kali.”
“Dan kau mengabaikannya puluhan kali juga.”
“Ibu pergi saja. Ini urusanku, aku sendiri yang akan menanggungnya.”
Dan sang ibu pun pergi dengan hati sebak. Doa-doa baik masih saja meluncur dari mulutnya. “Tuhan maha melihat, aku sudah melakukan semuanya. Menyeru bocah itu baik-baik. Dan itulah jawaban yang kudapat dari waktu ke waktu.”
Sang ibu kini menangis di atas perahu berkubah itu, mengenang anaknya yang tenggelam di kedalaman bah. Ketika arus mulai meninggi, sang ibu telah menarik tangan anaknya ke atas perahu. Tapi perahu itu bagai menolaknya. Tubuh si anak tergelincir begitu saja dari kabin suci yang dipijaknya. Dan tubuhnya segera diterima bah yang menganga.
Di sudut lain, masih di atas perahu berserambi yang bergoyang ringan, seorang suami menahan sedu sedan, sebab istri yang begitu ia cintai tak turut bersamanya. Di masa silam, ia adalah salah satu orang yang gemar memakmurkan rumah Tuhan. Sesekali mengumandangkan adzan, meski suaranya sedikit sumbang. Di masa silam, ia kerap berdebat dengan istrinya lantaran ajakannya pergi ke masjid tak pernah diindahkan.
“Waktu ashar tiba, dan sepertinya belum ada yang adzan. Ayo kita pergi sama-sama, biar kuambilkan mukenamu. Kita akan menjadi jemaah yang pertama,” ujarnya.
Istrinya mendengus, “Kau pergi saja sana, kalau sempat aku akan menyusul.”
“Suamimu yang azan, memanggil orang-orang untuk sembahyang, sementara kau berdiam di rumah, apa kata Tuhan nanti.”
“Apa kau tak lihat, masih banyak pekerjaan, rumah berantakan. Tuhan juga tidak suka rumah yang berantakan,” sahut istrinya.
“Kalau kau menuruti pekerjaan takkan ada habisnya. Ayolah, itu bisa dikerjakan nanti, akan kubantu.”
“Kau duluan saja, kalau pekerjaan sudah selesai, aku sudah mandi dan bersih diri, aku susul kau. Tak baik pergi ke rumah Tuhan, sementara tubuh masih berkeringat. Sudahlah, kau cepatlah pergi. Jangan tunggu aku.”
“Akan kutunggu.”
“Pergi saja dulu, tak apa-apa.”
“Aku cuma bingung, tak tahu harus berkata apa kalau sampai kelak Tuhan bertanya: mengapa istrimu tak kau ajak serta?”
“Kalau Tuhan menanyakannya aku akan bantu jawab, akan kusampaikan kalau kau sudah mengajakku, akan kutegaskan kalau itu bukan salahmu, itu tanggung jawabku sebagai makhluk individu.”
“Apa kau pernah dengar sebuah cerita, kelak, menjelang akhir dunia masjid-masjid itu akan menjadi perahu ketika bah raksasa datang.”
“Aku akan siapkan pelampung jauh-jauh hari, kau tak perlu cemas. Lagi pula kita sudah terbiasa dengan banjir tahunan. Sudah, kau pergi saja, katanya mau azan, keburu habis waktumu.”
Dan sang suami pun pergi tanpa kata-kata lagi. Kini, ia menangis tanpa kata-kata. Sebab, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, sang istri terlempar dari kabin suci itu. Sementara ia sendiri, kakinya seperti terpaku tak bisa menyelamatkan perempuan itu.
Air terus berkecipak, membasahi lantai-lantai tepian perahu. Ke manakah perahu berkubah ini akan pergi? Ke manakah hamba-hamba Tuhan ini diantar?
Di kejauhan, di permukaan bah yang mahaluas, perahu-perahu lain mengapung dengan kubahnya yang berkilau. Orang-orang di dalamnya riuh rendah, saling sapa, beberapa melambaikan tangan, beberapa saling tanya: ke mana kita akan pergi?
Dan perahu-perahu itu terus berjalan, ke arah yang sama, mengikuti arus bah yang bergolak. Menuju satu titik yang sama, di mana lagu merdu terus menggema: mari menuju kebahagiaan… mari menuju kebahagiaan…. ***
.
.
Malang, 2018
Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Tulisannya terpercik di berbagai media. Buku terbarunya “Sawitri dan Tujuh Pohon Kelahiran”, 2018. Kini bermukim di Malang.
.
.
Choi
Sungguh pesan moral yg amat indah dari sebuah cerpen. Tidak sedikitpun terasa digurui saat membacanya. Hening. Dan berirama. Itulah kenapa saya selalu suka cerpen-cerpennya Bang Zainal…
Oki
-> Pesan tiketnya harus jauh-jauh hari.
-> Cukup pergi lima kali sehari.
Terimakasih sudah diingatkan🙏