Cerpen Ongky Arista UA (Media Indonesia, 27 Mei 2018)
SEMENJAK kepergian ibu yang tak menjanjikan kembali, ayah tak pernah keluar kamar sama sekali. Itu mustahil. Tapi itulah kemustahilan pertama yang nampak di mataku. Sudah genap dua belas tahun pada hari ini kemustahilan itu berlangsung dengan tidak sama sekali mustahil.
Ayah sebetulnya tidak sakit apa-apa. Tentu, masih bisa keluar masuk kamar kapan saja andai saja mau. Entahlah, aku tak tahu dengan cukup jelas apa yang melanda pikir dan dada ayah.
Hari kedua di tahun pertama, di kamar ayah yang sempit dibangun sebuah kamar mandi. Alhasil, ruang kamarnya menyempit sebanyak satu setengah kali satu setengah meter. Hari kelima di tahun kedua, tanaman hias juga bunga-bunga kesukaan ibu yang sejak dahulu ditanam di halaman, dipindah ke kamar ayah. Bertumpuk pula barang-barang lain kesukaan ayah di sana, termasuk alat-alat dan bahan-bahan untuk melukis.
Dan tahun ini, kamar ayah yang tentunya semakin sempit itu sudah bukan lagi seperti sebuah kamar, tapi sebuah dunia yang barangkali sangat menyenangkan. Makanya ayah tak pernah merasa perlu untuk keluar dari kamar yang menurutku mungkin mencekik dirinya dengan kebosanan yang bertubi-tubi. Dan sepertinya, ayah sedang berusaha kuat melepaskan diri dari segala alasan untuk keluar kamar dengan melawan segala kebosanan yang mungkin menetas di seluruh helai rambutnya.
“Aku menunggu ibumu!” Kata itu yang keluar sebagai jawab dari segala tanya selama dua belas tahun ini.
Menunggu yang tiada pernah pasti, untuk apa? Andai saja bukan ayahku, sudah kukata-katai lelaki itu sebagai manusia bodoh. Aku membaca istigfar. Ah tidak, barangkali ini perkara cinta ayah pada ibu, cinta yang kemudian melahirkanku ke dunia ayah yang menunggu dan dunia ibu yang pergi tanpa janji kembali. Dan memang, siksaan cinta yang tiada pernah jelas ujung penantiannya akan selalu lebih menyakitkan dari apa pun. Dan betapa akhirnya aku setuju jika ayah lebih baik mengurung diri saja di kamar bersama cintanya itu.
Jika ayah butuh makan, biasanya mengulang kata ‘aku menunggu ibumu’ sebanyak tiga kali. Itu cukup menyusahkanku di awal-awal. Dan momen paling rumit dari semuanya adalah di tahun pertama dan ke dua saat hendak membangun kamar mandi dan memindah bunga-bunga, barang-barang, dan lain-lain dari luar ke dalam kamar ayah. Pokoknya rumit sekali. Dari saking rumitnya, tak pernah kutemukan kata yang tepat untuk menjelaskannya, sampai-sampai aku berdoa agar lelaki itu mati saja andaikan bukan ayahku. Tentu pula sudah akan kukatai perempuan yang meninggalkan ayah tanpa titik kembali itu dengan sebutan berengsek andai saja bukan ibuku.
Aku sendiri tak tahu, tak tahu mengapa ibu pergi begitu saja sebab aku tak pernah menjumpai ibu dan ayah bertengkar selama ini. Bahkan, jika boleh dikata, hubungan mereka sangatlah mesra melebihi kapasitas mesra pada normalnya. Dan aku menjadi tahu betapa kepergian tidak mesti lahir dari rahim pertengkaran. Selebihnya, aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu mengapa ayah memilih untuk tidak keluar kamar ditambah tidak memulai ucap apa-apa kecuali kata itu, aku menunggu ibumu!
“Bapakmu tak waras!” tetangga-tetangga bergunjing begitu saat aku datang ke warung depan rumah tempat biasa ayah membeli nasi.
“Jangan mengataiku!” kataku tegas.
“Ayahmu, bukan kamu!” jawab mereka.
“Secara tidak langsung kalian mengataiku karena aku adalah keturunan ayahku!”
Aku segera menarik langkah setelah nasiku selesai dibungkus. Semenjak itu pula aku berhenti membeli nasi dan memilih memasak sendiri. Bicara orang-orang bikin aku tak nafsu makan.
Ada benarnya juga jika ayah mengurung diri di kamar. Mungkin saja agar tak mendengar perkataan orang-orang yang seringkali merusak konsentrasi pekerjaanya menunggu ibu.
Setelah itu aku berpikir keras bagaimana caranya agar ibu kembali, untuk memutus tali-tali penantian ayah pada ibu yang kian memanjang. Agar ayah bisa keluar kamar dan bisa berbicara secara normal lagi. Aku sudah sangat merindukan sosok ayah selain juga merindukan sosok ibu. Maka aku mencari ibu ke seluruh penjuru kota selama berbulan-bulan. Dan ibu akhirnya kutemukan di sebuah hotel dengan petunjuk seorang kakek tua yang tembus pandang. Ibu sedang bersama seorang lelaki tampan sambil berpegangan tangan menuju sebuah kamar hotel.
“Ayo pulang, Bu!” cegatku.
“Kenapa? Ayahmu masih belum keluar kamar?” Ibu tiba-tiba membentak. Aku tak menjawab. Ibu sepertinya sudah tahu masalah ayah.
“Biarkan saja ayahmu mati. Biar jadi bangkai!”
Tak sempat aku bertanya mengapa ibu sekasar itu bicaranya, daun pintu kamar hotel sudah menelan tubuh ibu dan lelaki yang bersamanya. Kuketuk-ketuk pintu kamar hotel hingga ratusan kali sambil air mata menetes-netes seperti sisa-sisa hujan yang jatuh dari atas genting. Sayang tak berhasil. Aku pulang, itu pun karena seorang satpam menarik-narik lenganku.
Di tahun yang kedua puluh, ayah keluar kamar. Ia kembali berbicara dengan normal. Tubuhnya jelas sekali semakin sepuh. Tampak pula semakin kurus. Rambutnya memutih, mungkin akibat dibilas kebosanan terlalu lama. Kulit-kulit di tubuhnya putih pucat. Ayahku sudah tua, pikirku sambil memaku pandang ke arahnya.
Ia keluar kamar karena hari ini aku akan melangsungkan pernikahan. Barangkali, ia tidak mau melihatku jatuh sedih, menikah tanpa ibu ditambah tanpa ayah. Tetapi sayang, dua hari setelah aku menikah, ayah kembali masuk ke kamarnya dan bicaranya mulai tak normal lagi.
“Aku menunggu ibumu!”
Cinta–jika benar itu cinta–ternyata telah mampu merehab akal-akal waras menjadi akal-akal tidak waras. Bagaimana bisa cinta itu kemudian memutus saluran akal waras ayah dengan sebaik-baiknya? Hanya ayah yang tahu.
Setelah hari itu, ayah tak pernah keluar-keluar lagi, dan tidak pernah bersuara-suara lagi. Kuingat dengan baik penuh duka mendalam, waktu itulah ayah meninggalkan ibu yang meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Malaikat maut membantu ayah memutus penantian panjangnya untuk ibu. Mata berair mengirinya pergi ke tangga-tangga langit.
“Kuburkan aku di sini!”
Wasiat itu menempel di dinding kamarnya. Ditulis menggunakan cat air. Di sampingnya, ada lukisan ibu. Ibu yang cantik sekali. Di sampingnya lagi, ada lukisan wajahku bersama istriku. Dan lukisan perempuan kecil yang belum selesai. Barangkali, itu lukisan cucunya yang kini sedang dikandung istriku. Dilukis tanpa selesai karena memang belum lahir. Maka tidak ada pilihan lain, di kamarnyalah ayah akhirnya kami kubur.
“Mengapa kau tak kabari ibu?” Ibu tiba di rumah di hari ketujuh ayah meninggal. Tangannya menggenggam kuat kedua lengan bajuku. Bibirnya gemetar. Matanya basah dengan air mata yang sungguh-sungguh percuma.
“Itu ingin ibu, ayah jadi bangkai!”
“Tidak!” Ibu menamparku lalu masuk ke kamar ayah. Kamar yang sudah menjadi rahim ombak, yang menghanyutkan ayah ke samudera keabadian. Di sana, ayah sudah terbawa arus yang benar-benar abadi, menemui Tuhan. Di sisinya, malaikat kuat-kuat memborgol tangannya, menggiring tubuhnya yang tak selesai menunggu ibu dengan bunga-bunga kesukaan ibu di kamarnya.
“Mana kuburan ayahmu?” Ibu keluar dari kamar ayah sambil berteriak, dan menghampiriku yang belum saja mengubah posisi berdiri.
Aku tersentak. Segera aku menuju ke kamar ayah. Dan benar, kuburan ayah lenyap tanpa sisa. Aku terperangah. Mataku melesat ke seluruh sisi ruangan. Baru kemudian kusadari, di dinding kamar ayah bertambah satu gambar lagi, gambar ayah. Jadi lengkap, gambar ayah, ibu, aku dan istriku. Anakku? Gambar anakku hilang. Segera aku membalikkan pandangan ke tubuh istriku yang sejak tadi mengekor di belakangku. Kepanikan tumpah. Napas-napas seperti dihamburi lelah dan ketakutan. Tak sempat kuraba perut istriku, mata sudah mendahului tahu bahwa perutnya tak lagi buncit. Bayi yang kata dokter adalah perempuan, yang kata dokter pula akan lahir satu bulan lagi, lenyap.
Untuk menerima kenyataan itu tentulah tidak mudah. Tangis istriku berlangsung panjang di kamar ayah. Ibu mematung badan, seperti sedang menyadari kesalahannya. Entah kesalahan apa selain membiarkan ayah menunggu dirinya sampai mati dan bersama seorang lelaki selain ayah memasuki kamar hotel itu. Aku tak menanyainya.
Sampai sekarang pun, aku belum tahu banyak. Jika aku masuk ke kamar ayah bersama istriku, biasanya kami hanya menabur bunga-bunga untuk anak perempuan kami yang lenyap tak menemui harap kembali bersamaan dengan lenyapnya kuburan ayah yang tak menemui harap kembalinya ibu.
“Aku menunggu ayahmu! Aku menunggu ayahmu! Aku menunggu ayahmu!”
Itu suara ibu yang ingin makan dari kamarnya.
Karangcempaka, April 2018
Ongky Arista aktif sebagai Ketua Marga di Komunitas Menulis Cerpen Ponpes Nurul Islam Karangcempaka-Sumenep. Sejumlah cerpennya sudah diterbitkan di sejumlah media massa.
Risah
duh kalimat keduanya kok gatel pengen mengubah lebih efektif “ayah tak pernah keluar kamar sama sekali”
sudah tak pernah ditimpa sama sekali…….
Noor Jihan
Masih belum faham makna cerita ini..