Cerpen Yusri Fajar (Media Indonesia, 10 Juni 2018)

Suara Lirih di Olympia Park Munich ilustrasi Bayu Wicaksono/Media Indonesia
OLYMPIA Park Munich masih diselimuti kabut tipis. Dresdena bertutur padaku dia tengah bersiap menuju laboratorium kampus Ludwig Maximilians untuk meneliti penyakit tropis. Aku telah mengiriminya sampel darah penderita malaria dari Papua untuk bahan riset program doktornya. Gumpalan-gumpalan darah beku itu siap dia amati. Tetapi denyut semangatnya seperti terhenti. Air matanya mengucur melewati pipi. Rindunya padaku dan Kiela menderas. Ia ingin aku dan Kiela segera menyusulnya, meninggalkan kehidupan politik yang baginya kejam, licik dan keras.
Siang ini Jakarta dihujani bulir-bulir besar air hujan setelah sebelumnya digoda rintik gerimis. Sebagai politisi aku merasa tak bisa melepaskan diri dari berbagai pikiran politis. Aku masih bertahan di Jakarta meski Dresdena terus merayuku meninggalkan hiruk pikuk politik penuh intrik.
“Jika kamu terbang dan tinggal sementara ke Munich, lawan-lawan politikmu tak akan bernafsu untuk menghabisimu,” kata Dresdena sungguh berharap.
“Tapi partai tengah diambang perpecahan. Aku mesti di sini, menyelesaikan.”
“Pengorbananmu di partai membuat keluarga kita terlunta-lunta.”
“Berat jika aku harus berhenti dari dunia politik sekarang.”
“Politik yang berkali-kali menyandera hidup kita,” katanya dengan nada suara meninggi. “Aku sering tertekan menyaksikan perselisihanmu dalam partai. Kamu berkali-kali akan dibunuh dan rumah kita pernah dikepung orang-orang tak dikenal,” lanjutnya.
“Hal itu biasa dalam politik.”
“Bagimu biasa. Tapi bagiku tidak.”
“Dalam politik selalu ada musuh.”
“Tapi teror terhadapmu menghantui pikiran. Lebih mudah menyembuhkan sakit malaria, daripada mengobati sakit karena trauma politik,” suara Dresdena menandakan tangis tak tertahankan.
***
Angin kencang dan petir datang beriringan ketika aku membaca berita tentang orang-orang yang mengkritisi rencana renovasi dan pembangunan gedung di Jakarta. Aku mengamini rencana itu, meski para simpatisan partai yang mendukungku bersuara keras agar aku menolak. Mereka menilai gedung lama masih bagus dan layak digunakan, tak perlu diperbaiki dan membangun gedung baru, hanya buang-buang uang.
Sementara dari Munich Dresdena berkisah tentang gedung-gedung tua berarsitektur antik di beberapa jalan Munich yang terawat baik. Katanya pemerintah Jerman sangat perhatian dengan perawatan gedung-gedung penting dan bersejarah. Foto Dresdena ketika ia berdiri dengan latar istana Nymphenburg yang terkurung salju makin membuatku rindu. Ia selalu terlihat cantik, langsing namun tetap berisi. Wajahnya makin beraura dan bersih. Rambutnya panjangnya ia tutupi dengan pelindung kepala. Ujung rambutnya bagian belakang menjuntai menerpa jaketnya yang berwarna merah muda. Dia juga berfoto bersama teman-teman perempuannya dari Turki dengan latar masjid indah bermenara dua di jalan Schanzenbach Sendling Munich.
Dresdena berulang kali mengirim pesan,“Jangan sampai kamu suapi Kiela dengan makanan hasil uang mark-up gedung dari tender-tender gelap. Daging dalam tubuhnya akan digerogoti virus dan aliran darahnya akan dihambat penyakit. Jangan sampai membelikan susu Kiela dengan uang dari mahar-mahar politik. Kiela tak akan bisa tumbuh sehat dengan uang jual beli jabatan seperti itu,” pesannya. Tapi Dresdena mestinya paham aku butuh dana besar untuk menjaga peran dan nama besarku di partai. Wajar jika aku mendapat fee dari proyek-proyek dan berbagai mahar politik untuk kugunakan beraktivitas dalam partai dan meraih dukungan.
“Kamu bisa mengumpulkan rezeki dengan cara lain yang halal,” katanya kemudian kembali memintaku segera menuju Munich.
Jika aku menyusul Dresdena ke negeri mendiang Hitler apa yang bisa aku lakukan? Pengaruh politikku akan runtuh dan lumpuh
***
Tiba di rumah aku memandangi wajah lugu Kiela. Tak tahan rasanya mendengarkan rengekannya untuk bertemu Dresdena. Ia kini tak mau pergi ke sekolah karena dalam pikirannya hanya ingin berjumpa Dresdena. Beberapa hari setelah kecamuk kebimbangan memenuhi kepala, aku memutuskan pergi ke Kedutaan Jerman di jalan Merdeka Selatan untuk mengurus visa. Dalam antrean panjang wajah Dresdena terbayang. Sementara lagu dan janji setia partai terus terngiang. Seorang sahabat baik di partai sempat menasehati,”Tak baik kau biarkan istrimu yang cantik berjuang sendiri di Jerman. Nanti kau menyesal kalau dia diperhatikan orang.”
Empat hari menjelang berangkat ke Jerman, aku masih harus menghadiri pelantikan pengurus partai di daerah. Para pendukung calon ketua yang tidak terpilih menghadangku di bandara sambil mengacung-ngacungkan senjata tajam sambil memprotes kecurangan. Mereka mengejar rombonganku sambil menghujatku berulang kali dengan kata-kata kasar. Aku tersudut di ruang tamu bandara sebelum aku bisa terbang meninggalkan kekisruhan yang membuat jantungku berdebar cepat dan nafasku terasa sesak. Jika mereka melukai dan menyanderaku, aku pasti tak akan bisa segera bertemu Dresdena.
***
Di bandara Munich Dresdena memeluk dan menciumi Kiela dengan mata berkaca-kaca. Kemudian ia menatapku beberapa saat sebelum mendekapku erat. Penampilanku berbeda katanya. Biasanya Dresdena sering menyaksikan diriku mengenakan jaket kebesaran partai. Kini aku menggunakan jaket tebal penghalau dingin dan deru angin kencang. Tapi jimat dari sesepuh di kampung halamanku di lereng gunung kawi tak lupa aku bawa. Agar pamorku dalam politik tak luntur.
Ketika berada di kereta S-Bahn nomor 8 menuju stasiun sentral Munich, Dredena bertanya siapa saja yang mengantarkan aku dan Kiela ke bandara Soekarno Hatta. Selain keluarga, beberapa teman dari partai juga turut serta. Orang-orang partai berpesan padaku untuk tetap mengikuti perkembangan dan arah angin partai ke mana.
Tiba di stasiun Olympia Zentrum, kami berjalan kaki melintasi jalan bersalju menuju apartemen Dresdena yang masih berada di Olympia Park. Sebuah apartemen kecil di antara deretan apartemen lainnya yang kabarnya dulu ditempati para atlet yang berlaga di olimpiade Munich. Beberapa hari di Munich, kejenuhan terasa mulai menikamku. Sebagai politisi aku merasa jatuh di lubang ketidakberdayaan. Ketika Dresdena kembali sibuk dengan riset di laboratorium, aku menghabiskan waktu untuk menemani Kiela.
Dalam kesepian dan kebosanan aku sering mengajak Kiela mengelilingi Olympia Park, melihat hamparan danau buatan yang beku. Ketika aku mampir di restoran Kebab Turki di dekat pintu keluar stasiun Olympia Zentrum aku bertemu perempuan muda keturunan Jerman- Indonesia yang menawarkan pekerjaan di perusahaan tempat ia bekerja. Esok harinya ketika hujan salju menderas dia mengajakku ke kantornya. Dresdena tak perlu cemburu meski aku dan dia sering bertemu. Ia sebatas rekan kerja yang siap membantu. Jikapun ia beberapa kali memintaku menemaninya bercengkrama di salah satu kafe di dekat stasiun Munich, juga tak lebih dari lobi pekerjaan.
Di perusahaan Jerman berjaringan internasional penghasil mebel dan peralatan kantor dengan kualitas dan harga selangit aku kini menghabiskan sebagian waktu. Kesibukanku makin menumpuk. Pesanan ke berbagai negara termasuk Indonesia tiada henti. Makin lama kesibukanku makin mendera. Dalam kepadatan jadwal yang kulalui beberapa temanku di partai dan pemerintahan selalu menyempatkan menghubungiku. Dresdena kembali mengingatkanku. “Lupakan urusan politik di Jakarta.”
***
Senja dingin, temperatur minus sepuluh. Aku menunggu Dresdena pulang dari kampus. Kiela bermain salju di depan rumah bersama teman-temannya. Ketika datang, tidak seperti biasanya, Dresdena langsung mengajakku berbicara di kamar. Dresdena duduk di sampingku setelah ia meletakkan tas dan melepas jaketnya. Nafasnya memburu. Kerinduankah yang sedang bergolak dalam dirinya?
“Terus terang aku terkejut mendengar berita tentangmu. Beberapa teman dekatku menghubungiku. Mereka menyebut-nyebut namamu. Sebagai istri aku merasa malu. Jika berita itu benar, kamu berarti telah menghancurkan namamu sendiri dan keluarga kita,” ungkap Dresdena dengan suara tertahan.
“Berita tentang apa?” tanyaku dengan suara lirih. Aku takut Kiela mendengar jika suaraku terlalu keras. Dia tak perlu tahu percakapanku dengan Dresdena.
“Apakah benar kamu terlibat dalam pengaturan dan mark-up renovasi dan pengadaan perlengkapan gedung yang dikritik banyak orang dan terlibat dalam bancakan mahar politik?” tanyanya juga dengan suara lirih. Matanya berkaca-kaca lalu air mata membanjiri wajah cantiknya. Aku terdiam, bingung mau berkata apa.
“Jawab dengan jujur,” desak Dresdena.
“Aku butuh dana besar untuk kembali ke panggung politik nanti,” jawabku.
“Kamu benar-benar telah membuatku kecewa dan tertekan,” katanya lirih sambil menangis sesenggukan. Tubuhnya bergetar. Aku hanya bisa diam.
Dari jendela aku melihat langit Munich dikurung mendung hitam.
Yusri Fajar tinggal di Malang. Ia menyelesaikan studi sastra di Jerman. Buku kumcernya Surat dari Praha (2012) dan buku puisinya Kepada Kamu yang Ditunggu Salju (2017).
Desfortin
Mantap Cerpennya!
Ksian skli si Dresdana ya mengetahui suaminya terlibat sabetan politik, yg berujung pd kasus hukum.