Cerpen Fajar Martha (Lampung Post, 01 Juni 2018)

Piknik Toserba ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Tikar menghampar. Sisa-sisa embun hampir purna mengering di sela-sela rumput. Tangis anak-anak, kemacetan yang mengular. Bau keringat, udara nan sumpek. Mi dan kopi instan seharga dua sampai tiga kali lipat dari biasanya. Pekik para petugas berseragam lusuh. Kerumunan. Satu kerumunan. Seratus kerumunan. Sejenak kita pun melipir, melupakan, serta dilupakan.
Kini 2039: dua puluh tahun sejak perang besar mencerai-berai arsipelago. Dan kepada kalian, rekan-rekan di masa silam: izinkan aku menyampaikan ikhtibar ini.
Sepuluh tahun yang lalu, tatkala kota di Kalimantan itu mulai sumpek, ketika ledakan penduduk tak seimbang dengan jumlah lapangan pekerjaan serta fasilitas publik, masyarakat tetap tidak kehabisan cara untuk mencari tempat menepi.
Perusahaan raksasa Omnicorp menyediakan segalanya. Salah satunya adalah OmniGoods, toserba besar yang dilengkapi dengan banyak fasilitas umum. Di sana, pengunjung bisa menaruh anak-anak mereka ke penitipan. Musala tentu saja ada, bersih pula. Ada juga zona tunggu yang dilengkapi dengan colokan pengisi daya, area merokok, dan kursi-kursi yang nyaman. Semua dilengkapi dengan pendingin udara.
Satu tahun terakhir kemewahan tersebut mulai ditinggalkan. Karena Mister Kim—presiden dan pendiri perusahaan—terang-terangan mendukung calon penguasa yang mereka benci, muncul gerakan memboikot apa saja yang berbau Omnicorp. Selain OmniGoods, tentakel bisnis mereka merajalela lewat OmniCom (bisnis teknologi informasi), OmniLife (perusahaan kesehatan), juga OmniBank (yang beranak-cucu ke banyak jasa keuangan lain).
Omnicorp harus tahu, masyarakat kota ini membenci mati-matian capres yang akhirnya terpilih menjadi presiden itu. Meski kehilangan tempat hiburan, mereka merasa itu bukan masalah, ketimbang melawan omongan pemangku adat serta pemuka agama. Omnicorp telah menjadi sumber masalah. Api dan amarah berkobaran di mana-mana.
Leave a Reply