Analisa, Cerpen, Mutia Rahmah

Pohon Durian Tua

0
(0)

Cerpen Mutia Rahmah (Analisa, 01 Juli 2018)

Pohon Durian Tua ilustrasi Renjaya Siahaan - Analisa

Pohon Durian Tua ilustrasi Renjaya Siahaan/Analisa

SEMBARI terlentang, kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Suplai oksigen seketika mengalir ke otakku. Mataku masih menatap langit jelita yang malu-malu menyibak tirai awan demi menunjukkan gemintang.

Suara katak bersahutan dari balik titi selokan yang baru selesai dikerjakan beberapa minggu lalu. Laksana kidung agung yang dilantunkan sehabis hujan, begitu merdu. Suara jangkrik sudah jarang terdengar. Maklum, sebagian sawah di kampung ini sudah berubah menjadi lahan bisnis perumahan.

Tak dapat dipungkiri, walaupun terlalu banyak mulut manusia yang mengeluh soal kesenjangan. Mereka lupa, manusia masih menginginkan keturunan bernama anak yang memerlukan tempat tinggal.

Beberapa bulan ini terjadi banyak perubahan di kampung ini. Sebuah kampung kecil bernama Kampung Durian. Kampung yang dinamai dengan nama buah sebuah pohon, dimana aku berbaring pada kakinya malam ini. Aku tak tahu sejak kapan nama itu resmi mereka berikan. Mungkin karena pohon ini sudah berdiri lama pada tempatnya sekarang. Tentunya sebelum manusia-manusia yang kuhindari itu membawa segala pertentangan dan kehidupannya yang tak habis-habis itu ke tempat ini.

Balai desa terletak disisi kiri pohon durian tua yang menjadi teman setiaku. Belakangan sering dipenuhi oleh manusia-manusia yang membawa keluh kesah.

Aku bisa lihat dari wajah-wajah mereka sepucat abu tunggu bekas pembakaran kayu untuk menanak nasi di periuk ibuku. Itu terjadi sebelum beliau menjadi mayat karena terbakarnya gubuk reyot kami. Mungkin merasa dirinya Ratu Padmawati, sehingga mengobarkan dirinya dalam kobaran api ketika mengetahui bahwa suaminya telah mati.

Tak biasanya mereka memenuhi balai desa pada hari-hari biasa. Aku bisa pastikan itu, karena keseharianku mengamati lalu lalang manusia dari bawah pohon ini. Aku tak peduli mereka mengejek, mencemooh, menghina dan menyebutku tak waras. Mungkin karena hal-hal di luar kelaziman yang kulakukan. Mengenakan pakaian lusuh, menertawai diri sendiri yang tidak berhasil memukul lalat. Tak jarang aku juga bertanya pada rumput yang bergoyang. Itu yang mereka katakan tidak waras.

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!