Cerpen Raudal Tanjung Banua (Koran Tempo, 07-08 Juli 2018)

Kepala Siluman, Ular-ular Gelondongan, dan Naga Sisik Hitam ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Bagaimana harus kuceritakan deritaku padamu, ading Aliman? Engkau pergi jauh sekali, sedang penyakitku tak kunjung sembuh-jika ini memang penyakit, meski aku merasa tak pernah sakit. Aku hanya merasa sakit jika ingatanku bangkit, denyut kepalaku kambuh, dan sedikit bilur pada kulit. Tapi itu semua tak mengapa jika dibandingkan dengan usahaku untuk sekadar memejamkan mata, sebab dalam sepicing saja pandanganku hablur bertukar rupa. Segala yang kulihat akan berubah: melecut, menggigit, meneror-apa yang dengan sederhana kusebut derita.
Aku tak punya sebutan lain, Aliman, ya, kecuali derita saja. Derita luar-dalam, lebih dari yang tampak, susah sungguh dipahami orang lain. Tapi apa salah kunamai ini “derita saja” sebagaimana sebutan akut, sakit menahun, duka nestapa, ranggas merana, hidup merasai atau sengsara, yang dilekatkan kepada nasib seorang anak Adam?
Aliman, engkau telah pergi, jauh sekali. Tapi kuanggap Jauh Sekali itu nama tempat, sebagaimana Kintap, Sungai Danau, Bati-Bati, Muara Asam-Asam, atau Pulau Lari-Larian-itu sederet nama tempat di tanah kita, banua tercinta.
Aku tahu engkau berangkat ke tempat Jauh Sekali pada suatu dinihari, ketika derap sepatu mengepung rumah-gubuk kita, menggedor-gedor, sehingga palang pintu jatuh sendiri seakan gemetar, daun pintu membuka sendiri seperti pasrah, dan derit engselnya seolah berkata, “Masuklah, ambillah yang bersisa…”
Apa yang bersisa? Tak ada. Kecuali dirimu dan diriku. Tapi aku sisa tak berguna. Jalanku terhuyung-huyung karena separuh kakiku lumpuh. Mataku dianggap rabun, meski aku bisa melihat dalam remang. Jari-jariku sering bergetar karena urat saraf terganggu. Sementara kau sehat. Tubuhmu kuat. Matamu tajam. Otot-ototmu kukuh.
Kau sisa dari abah kita yang kuat, tapi akhirnya terkalahkan. Aku mungkin seperti ibu, penyakitan, dan meregang nyawa kehabisan darah saat melahirkan aku di atas klotok. Sering kudengar cerita itu. Ibu dibawa dari kampung kita di seberang yang puskesmasnya ditinggalkan petugas. Sejak balian terakhir meninggal, yang sakit parah harus dibawa ke rumah sakit di Marabahan. Termasuk ibu-ibu yang susah melahirkan.
Leave a Reply