Saran tetangga dan teman dituruti Neng, dengan menyirami tanaman bunga-bunga mawarnya menggunakan air cucian beras, sisa air teh, bahkan memakai air yang dicampuri pecin secara berkala. Setiap menyiram, Neng pun selalu melakukannya secara perlahan, dengan penuh harap, agar semua perdu mawarnya dapat selalu segar.
Pagi itu, seraya memandangi mekar bunga-bunga mawar, Neng berkata pada suaminya, “Asumsi orang sudah sepakat, seikat mawar yang diberikan, berarti tanda itu, sebagai tanda cinta, seperti dulu, saat kau memberikan seikat mawar untukku.”
Suami Neng hanya tersenyum.
Keduanya telah belasan tahun berumah tangga. Selama itu pula mereguk kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaan. Nyaris semua dimiliki. Rumah, kendaraan, beberapa bidang tanah juga ada di berbagai tempat—hanya anak yang tidak dimiliki. Suami Neng seorang pemilik katering makanan dan sewa alat-alat pesta —meskipun ini merupakan warisan mertua Neng. Mertua Neng-lah yang dahulu bekerja keras, mencoba segala resep masakan, sampai mendapatkan rasa demi rasa yang pas, sehingga sajiannya disukai konsumen. Lalu semakin berkembang, sehingga dapat membeli alat-alat pesta untuk disewakan.
***
Suatu malam, Neng super sibuk, satu sekolah menengah pertama memesan makanan pada kateringnya untuk acara perpisahan kelulusan. Namun pesanan daging mentah, saat malamlah datang, terlambat. Berakibat Neng kurang teliti memeriksanya —mungkin karena kantuk — apakah semua daging itu masih segar atau malah bercampur dengan yang basi. Meskipun begitu, seperti biasa, Neng langsung memandori pekerjanya. Neng selalu ingin memastikan, masakan-masakan pekerjanya matang, menjadi sajian yang memuaskan konsumen. Baru saat subuh Neng bisa tidur, itu pun pada pukul tujuh harus kembali bangun. Memandori lagi pengepakan, agar rapi, dan tentu, jumlahnya harus sesuai pesanan, 200 dus. Nasi dus kemudian dimasukan ke mobil bak tertutup. Dipastikan pula, jumlahnya harus pas. Neng bersama seorang karyawannya duduk di kabin depan.
Lalu, saat tiba di sekolah sekira pukul sembilan, dus-dus diturunkan. Juga jumlahnya harus tetap.
Neng kemudian kembali lagi ke rumah. Kali ini memilih tiduran. Masih mengantuk.
Tak berapa lama, teleponnya berdering. Saat dilihat nomornya, dari pihak sekolah tadi pagi. Neng menduga, ada keluhan, mungkin pesanannya kurang, atau komplain karena rasanya tidak berkenan. Namun Neng kaget, ternyata katanya banyak anak-anak sekolah yang mengeluh, perutnya sakit, pusing, mual, dan ada yang tak berhenti diare. Tanpa mengganti pakaian, Neng bersama suaminya gegas berangkat.
Para siswa yang keracunan dibawa ke rumah sakit terdekat. Para dokter memeriksanya. Para perawat menjalankan tugasnya. Beberapa yang dinyatakan berkondisi sehat, langsung diperbolehkan pulang. Korban-korban yang cukup kritis harus diinapkan, bahkan ada dua orang yang dibawa ke ruang darurat —ini pun karena memang kondisi sebelumnya yang sedang sakit, daya tahan tubuhnya kurang. Untunglah, pada akhirnya, dua siswa ini dapat terselamatkan.
Neng menyadari telah teledor.
Pengalaman itu mencambuk Neng untuk lebih berhati-hati saat menerima pesanan bahan-bahan mentah untuk dimasak.
***
Waktu pun berlalu. Orang-orang masih memesan catering dari Neng. Tetapi tak sebanyak sebelumnya, selain karena pernah ada kejadian, juga telah bermunculan katering-katering baru. Hingga tibalah hari itu, ada konsumen yang menyewa alat-alat pestanya. Kali ini Neng tak mau kecolongan seperti waktu menerima pesanan katering. Neng memeriksa dengan teliti, memastikan terlebih dahulu, apakah kursi-kursi masih layak dipakai? Besi-besi penyangga panggung masih bagus? Kain terpal, penutup panggung tidak bocor? Papan-papan pijakan panggung masih kuat—tak rapuh? Bahkan tangga besi untuk naik ke panggung pun dicermatinya dengan seksama. Lalu terakhir, semua alat musik beserta pelantang suara dicoba terlebih dahulu. Setelah dipastikan layak, lalu itu semua diberangkatkan ke satu tempat pada yang memesan, acara pernikahan.
Saat acara berlangsung, hujan turun. Namun kru musik kukuh, katanya acara bisa jalan terus, aman. Air hujan itu menetes dan menetes. Bahkan menimpa seperangkat alat-alat musik. Malah, salah seorang operator terkena setrum, untunglah masih bisa diselamatkan karena operator yang lain segera memadamkan genzet.
Namun, Neng kali ini menjadi jengah dengan usaha yang dijalaninya. Neng berencana untuk beralih profesi. Tak ingin merasa was-was ketika pesanan kateringnya sudah siap dinikmati. Tak ingin merasa ketir-ketir ketika alat-alat pestanya dikontrak. Semua alat-alat pestanya dijual. Bersama suaminya sepakat untuk menjadi pengusaha kebun mawar.
Sebagian tanah yang dimilikinya dioperalihkan, lalu dibelikan sebidang tanah cukup luas di tepi kota, yang cocok cuaca untuk ditanami ribuan perdu mawar. Neng mempersiapkan dengan matang: banyak membaca buku referensi perdu mawar, cara berkebun, perawatannya, dan juga relasi pemasarannya.
Ketekunan, keseriusan, juga kejujuran Neng dan suaminya, membuat usaha keduanya bisa terus berjalan, bahkan mengalami kemajuan. Pabrik parfum menjadi pelanggan setia. Orang-orang dari luar kota menemuinya, memborong mawar untuk dibuat ikatan-ikatan sebagai ungkapan cinta, atau memadukan mawar-mawar itu dengan bunga-bunga lain menjadi rangkaian-rangkaian sebagai ungkapan selamat. Selain itu, pedagang bunga rampai dari pasar-pasar di kota itu kerap kali mendatanginya, kulak, untuk dijual kembali, kepada mereka yang sedang berduka cita.
Neng dan suaminya hidup nyaman. Seraya mengelola perkebunan mawarnya, juga menunggu dengan pasti, bahwa satu saat, dirinya atau suaminya yang lebih dulu, akan bertabur helaian mahkota bunga mawar di atas masing-masing tanah kuburnya. ***
Bandung, 2020- Januari 2021
GANDI SUGANDI, penulis alumnus Sastra Indonesia Unpad tahun 2000. Mulai tahun 2002 bekerja di Perum Perhutani. Tahun 2014, 2015 mendapatkan penghargaan sebagai karyawan berprestasi. Saat ini sebagai staf Komunikasi Perusahaan KPH Bandung Selatan.
Leave a Reply