Haji Mardun juga bercerita jika aku masih mau memberinya harga diskon, ia siap menjadi langganan tetapku. Ia juga akan tetap membuat kalkulasi dari semua perjalananku mengantarnya. Jumlah itu akan ia berikan ketika akhir tahun atau lebaran tahun depan. Ia berkata dengan sangat yakin jika tukang ojek sepertiku akan sangat mengalami kesulitan untuk bisa menyisihkan sebagian penghasilan untuk kemudian ditabung. Aku jadi teringat ucapan Sunarti, mungkin Haji Mardun telah merasa sangat cocok dan percaya padaku. Soal sikap Haji Mardun yang terkadang seenaknya, aku rasa memang begitulah tabiat seorang bos. Mungkin Haji Mardun menganggap dan memperlakukan diriku seolah-olah aku adalah seorang karyawannya.
Mahan Jamil Hudani adalah nama pena dari Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO). Saat ini bergiat di komunitas Sarang Matahari Penggiat Sastra (SMPS) Juga aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Kini juga sebagai kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), serta sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id. Karyanya termuat di sejumlah media massa seperti Batam Pos, Riau Pos, Lampung Post, Sumut Pos, Harian Bhirawa, Haluan Padang, SKH Amanah, Palembang Ekspress, dan Magelang Ekspress. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016).
Fika
1. Banyak orang kampungku, khususnya beberapa teman tukang ojek yang mangkal denganku di persimpangan jalan tak jauh dari rumah Haji Mardun mengatakan jika ia adalah seorang yang sangat pelit. Mungkin benar kata mereka, tapi menurutku sebenarnya Haji Mardun itu bukan orang yang pelit, hanya ia orang yang sering bersikap seenaknya sendiri dan orang lain harus mengikuti kehendaknya.
Latar tempatnya dimana kak?
Kampung ? Atau pangkalan ojek?