Cerpen Faruqi Umar (Republika, 29 Juli 2018)

Haji Manap ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Langit merah. Bulan merah. Segalanya tampak merah di matanya. Angin malam juga beraroma darah. Pada sebuah ladang garam, ia terkapar. Sekujur tubuhnya penuh luka. Tulang-tulangnya remuk. Ia mengerang kesakitan. Darah kental mengucur dari kepala, merembes ke wajahnya. Potongan kayu, batu, dan benda tajam berserakan di sekelilingnya. Izrail pun seperti mengintip di balik pohon siwalan, menunggu giliran.
***
Matahari terik. Dul Karim berjalan dengan kaki telanjang. Keringatnya lengket di kaus oblong yang warnanya sudah tidak jelas. Caping cokelat menutupi kepalanya dari bara terik.
Tubuh Dul Karim berotot. Kulitnya hitam kusam karena sengatan matahari. Urat di lengannya tampak menjalar bagai akar pohon, yang semakin jelas saat sekop di tangannya berayun dan menancap gundukan garam. Ia memasukkan garam itu pada sebuah karung sampai terisi penuh.
Dul Karim jongkok. Tangannya mencekik kuat kepala dan kaki karung. Sekuat tenaga ia angkat karung itu ke udara sambil menahan napas, dengan bahu siap memanggul. Berat garam mencipta jejak kaki sepanjang pematang, menuju gubuk yang berdiri di antara hamparan ladang garam. Kakinya awas menjaga keseimbangan.
Gubuk Dul Karim berjarak sekitar 300 meter dari ladang. Dibangun di luas tanah 5 x 6 meter. Dindingnya terbuat dari gedek sehingga angin gampang masuk lewat lubang-lubang kecilnya, menyambangi penghuni gubuk. Semua tiang penyangganya dari bambu. Atapnya dari genteng. Lantai plesternya sudah mengelupas.
Di gubuk itu Dul Karim hidup berdua dengan ibunya. Usianya belum genap tujuh belas tahun. Setelah lulus dari MTs (madrasah tsanawiyah), ia sengaja tidak melanjutkan sekolah. Ia menggantikan ibunya bertani garam sebagai satu-satunya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Bapaknya, Haji Manap, seorang petani garam yang meninggal dengan perut robek, ususnya memburai dan darahnya berhamburan di ladang garam, lima tahun silam.
Baca juga: Kalifah Malam – Cerpen Faruqi Umar (Republika, 4 Maret 2012)
Terik benar-benar membakar tubuh Dul Karim. Keringatnya mengucur deras. Berkali-kali ia mengelapnya dengan ujung kaus. Sudah 10 karung garam ia panggul sendiri.
Leave a Reply