Cerpen Toni Lesmana (Tribun Jabar, 05 Agustus 2018)
SESEORANG, seperti hantu, datang dini hari mendorong pintu yang tak pernah dikunci. Tanpa salam dan basa-basi, ia berkata dengan kemurungan yang akut, “Aku ingin ke laut.” Lantas duduk hampir meringkuk di depan dinding yang penuh coretan.
Saya baru saja selesai menidurkan diri saya yang selalu meracau, diri yang hanya dapat jinak usai saya bacakan sebuah surat pendek sebanyak 333 kali. Hitungan yang tidak boleh kurang, tidak boleh lebih. Melelahkan memang. Tapi bagaimana lagi, lebih melelahkan lagi jika diri yang itu terus meracau tentang segala hal tidak saya pahami. Biasanya, setelah ia tidur, tidur mirip bayi dalam salah satu ruang di dalam diri saya, saya akan bangkit berdiri dan mulai memilih aneka macam mainan untuk dijual esok hari. Harus cepat, sebab diri saya yang centil dan ceriwis mirip pelacur di warung remang ujung kampung seringkali tiba-tiba saja hadir dan mengajak saya pergi sampai pagi.
Tapi, kedatangan tiba-tiba seseorang yang mirip hantu itu mesti saya sambut. Tamu, semesterius apa pun, tetaplah seorang raja. Mesti dibahagiakan. Ia masih sangat muda. Muda dan berbahaya. Liar. Pertama mengenalnya saat ia dikejar-kejar petugas Satpol PP karena ketahuan berbuat vandal, mencoret-coret dinding bangunan di kota dengan tulisan, “Tuhan adalah Kenangan.” Tidak hanya dinding tembok bangunan. Tapi apa saja dicoretinya dengan cat semprot. Trotoar, mobil, sampai tubuh orang-orang yang tertidur di trotoar. Keterlaluan memang. Saat pengejaran itulah ia masuk begitu saja ke dalam rumah saya dan bersembunyi. Lantas, saya katakan, coretkan saja di dinding dalam rumah saya daripada curat-coret bikin kotor kota yang bersih. Saya mendadak jadi orang bijak setiap kali menghadapinya.
Sejak itu ia sering datang sekadar untuk mencoretkan kata-kata. Biasanya sambil mabuk. Semalaman ia mainkan cat semprot itu ke dinding tembok. Hingga kata-kata tumpuk-menumpuk. Tapi saya senang. Senang dengan warna cat yang warna-warni, senang dengan warna kata-katanya yang warna-warni pula. Malam-malam saya jadi warna-warni. Mirip warna mainan yang saya jual. Lagi pula ia tidak akan dikejar-kejar petugas lagi. Memalukan.
Ia, bagi saya, mirip bajak laut dalam film kegemaran saya. Jack. Jack Sparrow. Selalu, lengan kiri botol minuman, lengan kanan maut. Matanya, sebelah matahari, sebelah gerhana matahari. Rambutnya, ombak pasang yang liar tergerai. Tubuhnya perahu yang miring kiri miring kanan dengan indah.
“Aku ingin ke laut!” katanya lagi sambil bangkit dan menyemprotkan cat berwarna merah muda menuliskan apa yang baru saja dikatakannya. Tapi kata terakhirnya berubah, mungkin karena mabuk, “aku ingin ke maut”. Saya ingat, ini mirip kejadian di mana dia mengoceh. “Hantu adalah Kenangan.” Tapi coretannya malah berbunyi, “Tuhan adalah kenangan”.
Saya menarik napas panjang, seperti biasa jika menghadapinya, saya membayangkan diri saya menjadi seseorang yang bijak dan penuh pengertian. Dengan dua telapak tangan rapat di dada, mirip orang semadi, dan dengan mata yang terpejam, saya berbisik, “Pergilah ke laut. Laut. Laut.” Sengaja saya ulang kata terakhir agar ia tak salah tangkap menjadi maut. Bahaya.
Tentu saja seorang bajak laut sepertinya itu harus ke laut. Harus. Harus merasakan laut. Masa bajak laut belum pernah hidup di laut. Ia tersenyum seperti mendapat restu. Lantas bersemangat mencoreti dinding. Harum cat yang tajam memenuhi rumah. Jam dinding seperti lintasan lomba lari. Jarum detik, menit, jam berpacu.
Ia mulai asyik. Saya beringsut membenahi mainan yang saya bikin sendiri dari barang-barang yang saya punguti di tempat-tempat sampah. Dunia ini memang benar-benar sampah. Beruntung sih dunia ini sampah, jadi saya punya begitu banyak bahan untuk bikin mainan. Mainan kecil-kecil. Unik dan cantik. Anak-anak sangat senang mainan. Mainan saya selalu laku dibeli anak-anak yang memang selalu lapar bermain.
Tepat jam 3 subuh. Saat semua mainan paling unik dan cantik sudah siap untuk menggoda anak-anak esok hari di tempat jualan, saat geliat pelacur centil dan ceriwis mulai hadir, saat itu juga ia, si hantu itu, melambaikan tangan dan berbalik memunggungi berjalan menuju pintu. Di punggungnya nampak layar hitam bangkit dan berkibar, persis layar perahu bajak laut. Ia memang benar-benar mirip hantu.
Leave a Reply