Cerpen, Tribun Jabar, Yudhi Herwibowo

Guarjja yang Membawa Kesedihan

4
(5)

Jangan biarkan Guarjja datang kemari!

Bila kalian melihatnya dari jauh, halangi dia! Tunjukkan jalan yang lain! Bila ia tetap berkeras melewati desa kita, memohonlah agar ia tak singgah!

Jangan tanya kenapa! Kalian tahu apa alasannya. Kita bahkan telah tahu kisahnya jauh sebelum ia ke sini! Kisahnya seperti telah menyihir kita dalam kesedihan. Dan kesedihan itu seperti semakin menjadi-jadi saat ia benar-benar datang kemari.

Ya, aku masih ingat, dulu, hampir 20 tahun yang lalu, ia datang pertama kalinya ke sini. Ia masih tampak muda. Namun langkahnya lambat bagai laki-laki tua. Matanya pun tampak sayu dan seperti tak henti mencari-cari sesuatu. Ia tak bicara sepanjang jalan. Namun ada kalanya, ia akan bertanya kepada orang terakhir yang dilihatnya di ujung desa. “Apa kau melihat seseorang yang tampak seperti diriku datang kemari?” Suaranya terlalu pelan, seperti bisikan angin. Tapi siapa pun yang telah mendengar kisahnya akan membuat pertanyaan itu begitu mudah memanggil kesedihan.

Aku pernah ada dalam posisi di mana pertanyaan itu terlontar. Dan aku—walau sangat benci menangis karena membuatku terlihat lemah—seperti tak bisa berbuat apa-apa. Aku benar-benar menjadi seperti orang-orang lainnya, yang telah larut dengan kisahnya.

Ya, masih kuingat jelas kisahnya.

Di hari kelahirannya, burung hantu tiba-tiba bersenandung dengan suara yang tak dikenali. Anjing hutan pun tiba-tiba datang dan mengelilingi rumah. Mereka mengeluarkan suara-suara seperti sebuah tangisan panjang.

Dukun bayi yang baru mengeluarkan orok dari selangkangan itu mengangkatnya dengan wajah tak percaya. Ya, semua yang ada di ruangan itu juga seketika tak percaya. Bayi yang masih berselimut darah itu seharusnya merupakan bayi kembar, tapi sebagian tubuh keduanya saling menempel satu sama lainnya.

Dukun bayi, yang belum pernah mengalami kejadian seperti itu sebelumnya, hanya bisa berkata, “Ini bayi yang sehat. Jangan pernah memisahkan keduanya!”

Tentu keduanya tak bisa dipisahkan. Dari sebagian kepala, pundak, perut, paha luar, dan kaki, semuanya menempel. Hingga keduanya tumbuh dengan segala hal yang harus mereka lakukan bersama. Orang tua mereka kemudian menamakan keduanya: Guarjja dan Giarjja.

Awalnya, semua orang berpikir keduanya akan menjalani hidup bersama seperti itu selamanya. Tapi menjelang umur keduanya 15 tahun, seorang dermawan memberinya kesempatan operasi untuk memisahkan keduanya. Maka keduanya pun pergi ke kota, diiringi orang tua dan sanak saudara.

Baca juga  Angku Zainal

Operasi berhasil dengan baik. Tubuh keduanya terpisah. Beberapa hari kemudian, mereka pun pulang dengan kegembiraan yang tak pernah mereka rasakan. Mereka bahkan memilih duduk di kursi yang paling berjauhan, seakan-akan memberi tanda mereka tak lagi menempel seperti dulu.

Namun hari-hari yang seharusnya jadi hari-hari paling bahagia itu ternyata diciptakan juga menjadi hari-hari paling nahas bagi keduanya. Perahu yang mereka tumpangi tiba-tiba diempas ombak dan tenggelam. Semua orang yang ada di dalamnya jatuh ke lautan yang sedang begitu bergejolak. Semua berlangsung cepat. Hampir semuanya tenggelam, kecuali Guarjja yang terdampar di tepi lautan dengan tubuh memeluk sebuah papan.

Sejak itulah Guarjja hidup sendiri.

***

SEPULUH tahun lalu, Guarjja kembali datang ke desa kami. Ia masih sama seperti dulu, berjalan pelan dan matanya yang sayu tak henti mencari-cari. Orang-orang yang berpapasan dengannya di tepi jalan segera jatuh dalam kesedihan.

Aku, yang telah cukup dewasa saat itu, mencoba bersikap realistis. Dulu aku memang juga ikut bersedih. Tapi 10 tahun adalah waktu yang panjang, kupikir tak ada kesedihan yang bertahan selama itu. Jadi aku memutuskan menemuinya kembali di ujung desa.

Kulihat, wajah Guarjja yang tampak lelah masih menyiratkan kesedihan paling dalam. Terlebih saat ia bertanya, “Apa kau melihat seseorang yang tampak seperti diriku datang kemari?”

Hatiku terasa tertusuk. Aku tak menjawab apa-apa, selain menunduk dan menggeleng. Hingga saat ia melangkah meninggalkanku, aku menangis dalam diam.

Aku kemudian seperti baru menyadari bahwa kesedihan telah menyatu dalam diri Guarjja. Entahlah, kali ini aku merasakan kesedihan yang paling dalam. Suara Guarjja terus terngiang di kepalaku. Dan itu membuat hari-hariku terasa kacau. Saat itulah sesuatu seperti menggerakkanku untuk ikut membantu mencari saudaranya. Aku tahu Guarjja hanya mencari di tempat di mana ia selamat. Ia tak pernah berani menyeberangi lautan. Jadi aku memutuskan menggantikannya ke sana.

Saat aku berangkat, aku sempat merasa melakukan hal yang berlebihan. Tapi aku kemudian berpikir, hal ini kulakukan juga untuk diriku sendiri. Aku tak mau terus-terusan merasa sedih memikirkan orang yang bukan siapa-siapa diriku.

Aku tiba di seberang dan mulai bertanya-tanya tentang kejadian 20 tahun yang lalu, saat kejadian nahas perahu yang tenggelam itu terjadi. Tapi tak ada yang mengingat kejadian itu. Terlalu banyak perahu yang tenggelam sepanjang 20 tahun ini. Namun saat aku menyebutkan nama Guarjja, beberapa orang langsung mengenalinya. Aku benar-benar tak menyangka Guarjja juga telah sampai di sana.

Baca juga  Bulu-Bulu Emas

Dari situlah aku mendapat petunjuk tentang nakhoda perahu saat itu. Ia lelaki yang sudah cukup tua. Matanya sedikit rabun sehingga ia harus mengejap-ngejapkan matanya untuk melihatku. Telinganya pun agak tak berfungsi sehingga ia kerap mendekatkan telinganya di mulutku. Tapi ia langsung mengenali pertanyaan pertamaku.

Ia menarik napas dalam-dalam. “Nyaris tak ada yang selamat di hari itu. Perahu ternggelam dengan cepat. Arus di bawah seperti menarik semuanya. Untunglah aku bergerak cepat meraih papan besar.” Ia terdiam sejenak. Dan aku melihat kesedihannya.

“Lalu… di tengah ombak itu, aku melihat sepasang pemuda kembar, yang tubuhnya masih dipenuhi perban, memperebutkan sebatang papan. Papan itu tampaknya hanya bisa menahan tubuh satu orang. Lalu kulihat….” Ia berhenti sejenak, “Seorang dari mereka yang memegang papan… seperti menendang saudaranya agar menjauh….”

Aku terkejut. “Ia… menendang?” tanyaku tak percaya.

Laki-laki tua itu tak menjawab. “Aku… tak cukup memperhatikannya. Saat itu, ombak terus menghantamku. Namun beberapa saat setelah reda, aku hanya melihat pemuda di papan itu terapung sendirian terbawa ombang menjauh….”

***

SETELAH pertemuan itu aku seperti menjadi orang yang berbeda. Orang-orang yang telah tahu aku ke seberang untuk mencari saudara Guarjja sempat bertanya-tanya, tapi aku hanya menggeleng.

Entahlah, sejak hari itu, aku sebenarnya tak ingin lagi bertemu dengan Guarjja. Aku ingin melupakan semuanya.

Tapi beberapa tahun kemudian, Guarjja kembali datang. Beberapa orang segera saja hendak menyambutnya. Namun saat itulah aku mengambil keputusan untuk menghalanginya ke sini.

“Jangan biarkan Guarjja datang kemari!” ujarku tegas. “Bila kalian melihatnya dari jauh, halangi dia! Tunjukkan jalan yang lain! Bila ia tetap berkeras melewati desa kita, memohonlah agar ia tak singgah!”

Orang-orang hanya menatapku tak mengerti. Tapi aku hanya berlalu dari mereka. Tetap saja ada perasaan tak tega menjelaskannya semuanya. Rasanya, biar aku saja yang mengetahuinya.

Sebenarnya, beberapa tahun sejak menemuan fakta kejadian yang menimpa Guarjja, aku terus berpikir. Aku sama sekali tak menyalahkan Guarjja. Bagaimanapun, ia terpaksa melakukan semuanya demi bertahan hidup. Terlebih bertahun-tahun terus mencari saudaranya, itu kuanggap sebagai caranya untuk memohon maaf.

Baca juga  BEBEGIG

Maka jauh di gerbang desa, aku memutuskan untuk menyambutnya sendiri dan memintanya tak lagi datang ke desa kami.

Kali ini, walau dari jauh aku sudah melihat kesedihannya, aku yakin itu tak lagi akan berpengaruh padaku. Kupikir cerita dari nakhoda itu telah melenyapkan kesedihanku walau Guarjja datang dengan berlipat kesedihannya sekalipun.

Aku kemudian memintanya tak melanjutkan langkahnya. Guarjja memandangku tak mengerti. Bila ia langsung berbalik, aku sebenarnya tak perlu mengatakan apa-apa. Namun ia terus memandangku.

“Sudahlah, Guarjja, hentikan pencarianmu ini!” ujarku akhirnya, tanpa ingin berpanjang-panjang lagi. “Kau melakukan hal yang sia-sia selama ini. Aku tahu kau merasa bersalah. Tapi dengan terus seperti ini, kau menyia-nyiakan kehidupan yang kauraih.”

Guarja menatapku tak mengerti. “Kenapa… aku harus merasa bersalah?”

Aku kembali tak ingin menjawab. Namun lagi-lagi, tatapan Guarjja membuatku bicara. “Aku sudah mendengar kejadian saat perahumu tenggelam. Nakhoda yang selamat saat itu melihat kau menendang saudaramu saat memperebutkan papan….”

Kali ini Guarjja mendesah panjang. Ia menunduk dan menggelengkan kepalanya berkali-kali. “Aku tak menendang siapa-siapa,” ujarnya pelan. “Sebenarnya… saudarakulah yang menendangku. Tapi karena itulah, aku mendapatkan papan yang lebih besar….”

Aku menatapnya tak percaya.

“Jadi, aku tak pernah menyalahkan saudaraku. Bahkan saat ia mulai tenggelam, aku sempat mencoba menyelamatkannya. Tapi kejadiannya begitu cepat… sangat cepat….” Dengan gerakan lambat, Guarjja menghapus air matanya yang mulai menggenang di pelupuk matanya. “Kau tahu, bila kami belum dipisahkan, mungkin kami berdua akan mati bersama hari itu….”

Aku terdiam. Perasaanku mulai berkecamuk.

Guarjja dengan air mata yang luruh menatapku. “Aku hanya ingin bertemu dengannya. Selama jenazahnya belum ditemukan, bukankah masih ada harapan ia hidup di suatu tempat?”

Lalu Guarjja melanjutkan langkahnya.

Sejenak aku masih terdiam sekian lama. Tapi melihat punggung Guarjja menjauh dariku, kesedihanku muncul kembali. Kali ini lebih dalam dari yang pernah kurasakan selama ini. ***

 

Yudhi Herwibowo. Menulis cerpen dan novel. Buku terbarunya kumcer Terkutuk (Elex Media Komputindo).

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!