Cerpen, Irhas, Singgalang

Muncak Ilang

2.7
(3)

MUNCAK Ilang salah seorang korban pemelesetan nama yang ada di nagari Mancuang. Nama aslinya ialah Muncak Sabai. Betul indah arti nama itu sebenarnya. Empat kali purnama lamanya Mak Kayo—bapaknya—mencari-cari dan mempertimbangkan baik dan buruknya nama tersebut.

Mak Kayo teringat untuk kali pertamanya ia berada di puncak Singgalang bersama istrinya yang hamil muda. Di puncak, sambil menatap lengsernya matahari ke barat, mereka sepakat mengawali nama anaknya dengan nama Muncak yang berarti puncak. Dari puncak mana pun orang-orang dapat melihat indahnya ciptaan Tuhan dan merasakan kenikmatan yang diberikan-Nya. Ketika seseorang berada di puncak, bersamaan dengan itu kesuksesan berada di genggamannya. Bukankah itu harapan setiap orang tua terhadap anaknya?

“Bagaimana untuk akhiran namanya, Uda?” Ati menanyai pada suaminya.

“Ati ingat nama seorang anak perempuan yang tangguh, pandai bela diri, budi elok, muluik manih... yang di Bukik Duo dulu? Kisahnya sudah didengar oleh orang di penjuru Minangkabau ini. Dari tadi Uda memikirkan, namun tidak kunjung ingat.”

“Sabai Nan Aluih, anak Rajo Babandiang maksud Uda?”

“Iya, Ati!” ucap Mak Kayo kegirangan. “Kita akan menamainya dengan Muncak Sabai, tidak masalah bila perempuan atau laki-laki yang akan lahir. Semoga kelak anak kita akan memiliki tabiat seperti Sabai Nan Aluih, dihormati orang karena kesuksesan dan kemurahan hatinya.”

Aamiin dan nama itu sungguh indah untuk anak kita, Uda,” lirih Ati yang mendekap pada suaminya. Namun karena suatu perkara namanya berubah menjadi Muncak Ilang.

***

Nama Mak Kayo sebenarnya adalah Muhammad Derajat. Pada suatu waktu namanya berubah menjadi Tarajaik. Orang-orang di Mancuang memanggil dengan nama tersebut karena beranggapan bahwa nama Derajat susah untuk dilafalkan. Derajat pun kemudian dipelesetkan menjadi Tarajaik. Dalam pada itu, mancacek memang kebiasaan masyarakat Minangkabau umumnya, dan Mancuang khususnya. Untung setelah menikah dengan Ati Saribai anak Datuak Sati Bakarih Ameh dari suku Sikumbang, Muhammad Derajat mendapat gelar Nan Kayo Sutan Mudo. Seiring berjalannya waktu, karena sikapnya nan elok dan pergaulannya yang baik dengan masyarakat Mancuang, ia pun disegani dan sering disapa Mak Kayo.

Kebiasaan mancacek masyarakat Mancuang juga dipengaruhi oleh tingkat sosial seseorang. Bila tingkat sosial seseorang rendah, panggilannya oleh masyarakat akan semakin diperburuk. Namun, apabila tingkat sosial seseorang tinggi, orang-orang pun dengan kerelaan hati membubuhi sapaan yang baik kepada orang tersebut. Seperti keberadaan Imus saat itu. Ia memiliki 80 piring sawah yang tersebar di Padang Tarok. Ladangnya seluas dua kali lapangan sepak bola. Banyak orang yang dipekerjakannya. Oleh sebab itu, orang-orang menaruh hormat padanya. Orang pun memanggil Imus dengan sebutan Tuan untuk mengawali namanya.

Perubahan atau penambahan nama oleh masyarakat Mancuang juga terjadi karena suatu perkara yang dilalui oleh orang yang bersangkutan. Ida Panggang, misalnya. Imbuhan ‘panggang’ pada nama tersebut dipakai karena…

Baca juga  Yang Berlayar dan Tak Kembali

Pada malam itu, Cilih dan Taraji tidur di rumah Ida. Cilih yang nama aslinya Warnilis dan Taraji dengan nama aslinya Ajimar—nama-nama yang sudah mengalami pemelesetan karena tingkat sosial mereka—menemani Ida di rumah karena Amak dan Abak-nya mairiak. Malam itu, seperti biasanya Ida menaruh togok damar di para-para dipan, tepat di bawah Ida berbaring. Ida tidur di tengah-tengah, Cilih di kanan dan Taraji di kirinya.

Pada waktu sepertiga malam, ketika Ida, Cilih, dan Taraji sedang menikmati perjalanan ketidaksadarannya, dalam sekejap mata kucing hitam milik Cunen—tetangga Ida—melompat ke para-para. Togok damar jatuh tepat di wajah Ida. Minyak tanah yang ada di dalam togok tersebut tumpah ke wajahnya dan seketika nyala api hidup. Cilih panik. Ida mengerang. Taraji menyambar selimut goni yang dipakainya, langsung mengibaskan ke wajah Ida. Api mati, pipi kiri dan sebagian jidat Ida melepuh. Arit Abak Ida terjun ke tungkainya, air darah mengalir. Air mata Ida tumpah. Kucing hitam meringis.

“Ida Panggang,” sebut Taraji dalam hati.

Muncak Ilang demikian pula. Nama itu sudah lekat di pikiran orang-orang Mancuang. Nama Sabai yang tersemat indah di akhiran namanya itu tidak pernah digubris lagi. Sekarang umur Muncak Ilang sudah hampir 25 tahun.

Oii! Muncak Ilang,” teriak Kadi Kalamai memanggil Muncak Ilang yang sedang berjalan kaki di depan kedai Ni Yel. Sebetulnya sudah banyak nama yang mengalami pemelesatan di nagari ini, tidak terkecuali Kadi Kalamai.

“Uda Kadi,” sahut Muncak Ilang yang tidak heran lagi mendengar panggilan yang dituju kepadanya.

“Duduklah di sini dahulu, barang sejenak,” pinta Kadi Kalamai yang masih berkain sarung di lehernya karena dingin. “Hendak ke mana tujuan angku?” tanyanya setelah Muncak Ilang duduk di samping kirinya yang menghadap langsung ke Sungai Agam.

“Saya hendak ke tempat Tuan Imus, Abak ada hutang kepada beliau,” jawab Muncak Ilang. “Kopi setengah Ni,” minta Muncak Ilang ke Ni Yel.

“Muncak Ilang rupanya,” ucap Ni Yel sedikit terkejut. “Roman angku dari jauh samar-samar nampak oleh Uni, rupanya benar angku, Muncak Ilang.”

Ondeh, Muncak Ilang. Sudah lama tidak bersua dengan angku?” Sekonyong-konyong Mak Ineh yang akan sarapan di kedai dengan anaknya yang berusia 10 tahun menyapa Muncak Ilang.

“Iya Mak Ineh. Bagaimana kabar Mak Ineh?”

“Alhamdulillah, saya baik angku,” syukur Mak Ineh.

“Abak,” panggil anak Mak Ineh sambil menjawil ujung baju Abaknya.

“Mau makan apa Rambun? Lontong? Pical? Sup? Atau bubur putih?” terka Mak Ineh kepada anaknya, mengira bahwa Rambun ingin segera makan.

“Memang benar nama Uda itu, Muncak Ilang, Abak?” bisik Rambun. Ternyata dari pertama sampai di kedai tadi, Rambun kecil yang cerdas itu menyimpan pertanyaan mengenai nama Muncak Ilang yang menganjil di pikirannya. Kendatipun berbisik, seisi kedai tetap mendengar pertanyaan Rambun.

Baca juga  Sengsara Membawa Petaka

Mak Ineh dan orang-orang di kedai tertawa pelan, “Memang iya, Nak,” ungkapnya.

“Bagaimana bisa?”

Kadi Kalamai yang tersangkut paut dengan peristiwa lampau itu, menawarkan diri untuk menceritakannya. Di kedai itu, Muncak Ilang mengenang.

Mak Kayo, Ati Saribai, dan anaknya yang berusia 5 tahun berangkat ke sawah di Subaliak, milik Tuan Imus. Rumput-rumput ilalang masih basah. Matahari pagi seperti kuning telur pecah dan membagikan cairannya ke seluruh alam. Bukik Sulah berwarna keemasan, gelak tawa daun-daun pinus ditimpa kehangatan, dan rumput-rumput mulai mengering. Sungai Agam yang mengalir dengan bunyi merdu seakan bagai bernafiri.

Mak Kayo dan keluarga kecilnya menyibak rumput-rumput menuju sawah yang sudah menguning di ujung kanan di bawah perbukitan. Mak Kayo menyandang tas dengan kepala sabit dan parang yang membersil, sedangkan Ati menenteng keranjang pandan yang berisi beberapa rebusan jagung putren dan dua botol minum di dalamnya. Muncak berlari kegirangan, tersenyum memandang seanteronya seolah ia sudah memiliki kedekatan dengan alam sana. Di tangan kanannya, memegang erat joran kayu untuk menangkap belalang.

Mak Kayo, Ati Saribai, dan delapan orang petani lainnya termasuk Abak Kadi, sibuk di dalam sawah menyabit padi satu per satu. Muncak Sabai pun sibuk sendirian. Sibuk berlari hilir mudik, mengejar burung bangau, menangkap belalang,- dan memerhatikan kerbau yang berkubang. Pagi berganti siang, siang berganti petang.

Pada jam istirahat, mereka semua shalat dan memakan nungkawa beserta nasi dan lauk yang telah disediakan keluarga Tuan Imus. Mak Kayo menyelingi waktu istirahat mereka dengan bermain seruling yang terbuat dari bambu. Entah dari mana beliau belajar, yang jelas beliau pandai memainkannya dengan jernih. Tidak hanya pandai bermain seruling, suara beliau juga indah. Apalagi kalau sudah mengaji. Wah, bisa merinding karena merdunya. Tidak salah, Muncak Sabai banyak meneruskan bakat Abak-nya.

Malam ini, semua petani akan menginap di dangau dekat sawah Tuan Imus. Sepuluh kaki dari dangau, Sungai Agam mengalir deras. Air yang jernih dan ikan yang banyak, memudahkan mereka berada di sana. Menjelang maghrib, Muncak Sabai masih sibuk memegang joran. Berpuluh-puluh belalang yang hinggap di ranting-ranting rendah, menambah gairahnya untuk menangkap. Hingga ia sampai di puncak gundukan bukit yang tidak terlalu tinggi. Bukit kecil itu berada di atas sawah-sawah Tuan Imus, jadi Amak dan Abak Muncak Sabai tetap dapat melihat anaknya berada di sana.

“Tidak usah jauh-jauh Nak, sebentar lagi maghrib. Lekas turun,” teriak Amak Muncak yang masih berada dalam sawah bersama aritnya.

Baca juga  Sumando

Teriakkan itu terdengar jelas oleh Muncak. “Satu lagi Mak,” lirih Muncak pelan dan hati-hati, “hap, dapat,” soraknya. Tidak main girang hatinya mendapatkan seekor bilalang lagi. Genap enam buah belalang yang ditangkapnya.

Amak yang mendengar sorakan Muncak pun, kembali menyuruhnya turun. Muncak diam, tidak menyahut, dan badannya tidak lagi terlihat di atas bukit.

“Barangkali Muncak sudah turun, lihat saja ia sudah tidak berada di atas,” ucap Abak Kadi. Rumput-rumput gajah di sekitar bukit sudah tinggi-tinggi, mereka beranggapan Muncak sudah turun dan berada di balik-balik rumput itu.

Dua menit berlalu, jantung Amak Muncak berdebar kuat. Firasatnya menyatakan buruk. “Muncaaak!” teriak Ati.

Tidak ada sahutan. Tidak ada pergerakan di bukit. Angin diam, pepohonan mematung. Muncak tidak muncul. Mak Kayo secepat kilat berlari mendekat ke bukit, menelusuri kaki, pinggang, dada, hingga tiba di kepala bukit. Ati mengekor. Muncak tidak nampak.

“Muncaaak!” ulang Ati berbarengan dengan Mak Kayo.

“Ada, Kayo?” sorak Abak Kadi dari bawah.

“Tidak ada, Da,” Amak Muncak menimpali.

Sontak ke delapan petani lain mengikuti orang tua Muncak di atas. Mencari-cari Muncak di balik-balik semak, di belakang bukit. Merambah segala ilalang yang menghalang dengan parang dan arit Memanggil-memanggil, menyorak nama Muncak. Ati tegang. Dadanya sesak. Mak Kayo panik sejadi-jadinya.

“Ya Allah, buyuang den,” lirih Mak Kayo, seraya berdoa.

Di puncak, Muncak hilang.

“Kadi Kalamai, di mana angku ketika itu?” sambar Ni Yel di kedai, yang menyimak cerita Kadi.

Di tengah situasi kusut kasau itu, Kadi yang habis pulang mengambil madu hitam di Bukik Sulah, bertemu Abak-nya dan menanyakan yang terjadi. Setelah jelas semuanya, Kadi pun terbirit-birit menuju nagari Mancuang.

“Muncaaak ilang… Muncaak ilang dilarikan hantu Aru-aru!” teriaknya berulang-ulang.

Masyarakat Mancuang menunda menutup pintu dan jendela karena melihat Kadi bersorak dan berlari tak karuan. Malam itu juga mereka yang merasa punya kewajiban turun langsung ke sawah Subaliak—wanita dan laki-laki mencari si kecil Muncak. Menyebar di sekitar bukit, lokasi hilangnya Muncak. Namun, tetap saja pencarian mereka kecele.

“Uda Muncak Ilang sudah ada anak? Nanti dijaga baik-baik ya,” ucap Rambun, polos. Muncak Ilang tersenyum, yang lain tergelak. Kejadian itu ia lipat dengan baik dan disimpan di lemari otaknya. Detik itu juga, Rambun kecil terpengaruh.

***

Muncak pulang ke rumah tiga hari setelah kejadian kehilangan itu. Ia mengatakan bahwa tadi ia baru saja makan enak di sebuah taman yang indah. (*)

Loading

Average rating 2.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!