Sebuah Film tentang Kendaraan and Life Goes on, Abbas Kiarostami
/
Apa yang akan diceritakan Kiarostami kepada anakku?
Kota-kota yang runtuh-remuk diamuk lindu,
atau antrean kecemasan yang memanjang di jalanan.
/
Di antara kemacetan dan bunyi klakson kendaraan,
anakku terjaga semalaman
seperti menemukan mainan kesukaan:
komedi hitam yang kerap tayang tengah malam.
/
Apa yang akan dikabarkan kantor berita kepada anakku?
Ramalan cuaca seringnya tak jitu.
Bahwa bumi bergetar di mana-mana,
dan bisa kapan saja.
/
Tetapi di antara yang tak pasti,
anakku kerap bersorak sendiri.
Masa kecilnya bangkit, ketika sebuah mobil
merayap di jalanan berbukit.
/
Mobil itu datang bersama seorang kawan lama,
kawan kecilnya yang selamat
dari bencana.
/
(Ampenan, 23 Januari 2020)
/
Aku Merindukan Bunyi Klakson Kapal Itu
/
Aku merindukan bunyi klakson kapal itu hari ini,
bunyi yang biasanya menyusup ke kamar kita.
/
Kitakah yang terlambat mendengar?
Atau cuaca sedang buruk hingga satu-satunya cara
untuk tiba adalah berdoa dengan hati yang memar.
/
Kita mungkin pernah membayangkan
bagaimana rasanya berdiri sendirian di bibir dermaga
ketika pancaroba.
/
Aku mungkin pernah menunggu seseorang
yang kukira sedang kuinginkan sepenuhnya,
Namun, kabar badai telah menghapus jadwal perjalanan
dan aku pulang menghapus semua ingatan:
cinta muda yang rentan.
/
Kini aku bersamamu, tinggal di sebuah kota
yang terlihat begitu gampang bagi kebanyakan orang,
tetapi kerap membagikan kerumitan bagi kita.
/
Dan kita menerimanya dengan sesekali perih
yang mencoba kita samarkan
dengan ketabahan berkarat
yang tak pernah kita ralat.
/
Dan kita saling mencintai dengan selingan ancaman
asam lambung yang tak bisa disembunyikan
–yang kerap tak kuasa kita lawan dengan pekerjaan.
/
Aku merindukan bunyi klakson kapal itu lagi hari ini,
Namun, hingga dini hari tadi,
aku hanya mendengar bunyi yang lain.
/
Gemuruh dari dalam perutmukah itu?
/
Atau cuaca yang rentan,
telah menghapus semua jadwal perjalanan.
/
(Ampenan, 14 Februari 2020)
/
Harga Sebuah Sepeda
/
Ketika orang-orang sedang turun ke jalan,
aku telah menjual sepedaku satu-satunya.
/
Jalan-jalan lumpuh
Rumahku tersembunyi
pada harapan-harapan yang menyakiti.
/
Ketika orang-orang sedang
turun ke jalan,
aku tak bisa berjalan.
Hanya bisa bertahan di pasar loak,
aku mendengar orang-orang
berteriak-teriak.
/
Istri dan anak-anakku
memanggil-manggil:
cepat pulang, cepat pulang!
/
Tapi jalan-jalan telah lumpuh, dan aku
–dengan segala keterbatasan–
dituntut untuk meluangkan waktu.
/
Demi kepentingan yang lebih besar, katanya.
/
Adakah yang lebih penting dan lebih besar
dari harga sebuah sepeda?
/
Cepat pulang, cepat pulang!
/
Tapi jalan-jalan lumpuh
Orang-orang terus berteriak-teriak.
/
Aku lumpuh.
/
(Ampenan, 28 September 2019)
TJAK S PARLAN. Lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Sebuah Rumah di Bawah Menara (Rua Aksara, 2020) adalah buku kumpulan cerpen terbarunya. Bermukim di Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
9 total views, 2 views today
Leave a Reply