A Warits Rovi, Cerpen

Lelaki Herbivora

1
(1)

“Ini cara paling suci saat perut lapar ketika kita tidak punya uang untuk membeli jagung dan beras,” kata ayah kepadaku waktu itu, hampir sama dengan wasiat kakek beberapa bulan sebelumnya. “Perut kita ini lebih bangga dimasuki daun daripada makanan lezat yang dibeli dengan uang haram,” tambah ayah sambil terus mengunyah. Bibirnya mulai agak menghijau dengan sobekan daun kecil yang tersisa di garis-garis bibirnya.

“Ayo. Makanlah daun ini!” pinta ayah sambil menyerahkan dua helai daun srikaya. Saat itu aku muntah dan tidak bisa makan daun. Ayah tertawa. Baru pada hari kedua aku bisa melahap setengah lembar daun. Hari ketiga berhasil menghabiskan selembar daun. Dan hari-hari berikutnya selera herbivoraku terus berkembang hingga akhirnya selera makanku total jadi herbivora. Tak ada makanan lezat selain daun.

“Mas, ingin makanan apa malam ini?” tiba-tiba Sofi bertanya kepadaku sembari tersenyum. Sepasang tangannya bertopang di bahuku. Aku terkejut dan agak gagap karena sedari tadi pikiranku melayang ke masa lalu.

Baca juga: Orang Gila di Bawah Papan Iklan – Cerpen A. Warits Rovi (Tribun Jabar, 01 April 2018) 

“Yang sederhana saja,” jawabku jujur

“Nasi dan ikan kering?”

“Itu belum sederhana.”

“Nasi jagung?”

“Yang lebih sederhana dari itu.”

Sofi terdiam dan hanya mengernyitkan dahi pertanda ia bingung.

“Lalu apa makanan yang Mas Hamid sukai itu?”

“Rumput,” aku jujur kepadanya.

Sofi tertawa, terbahak dan nyaring. Ia mengira aku sedang guyon. Padahal serius.

Sepasang mata Sofi menatap tajam ke mataku dan ia tidak sadar sedang memandang saudara sapi—aku ini. Si pemamah rumput dan pengunyah daun dan mungkin Sofi patut kecewa jika ia tahu bahwa tubuh tegapku ini tercipta dari daun-daun.

Baca juga  Sogok

Baca juga: Burung-burung Ababil di Langit Kota – Cerpen A Warits Rovi (Media Indonesia, 06 Agustus 2017)

Entahlah. Kenapa pada bentang malam yang tenang ini, pada lembut wajah Sofi yang wangi, pikiranku terseret ke masa kanakku. Barangkali karena aku punya keinginan yang menggebu untuk bercerita tentang kebiasaan unikku kepada Sofi, hanya selama ini kurasa belum saatnya untuk bercerita tentang semua itu.

Malam semakin legam. Dari celah ventilasi, bulan tampak ringkih menyeberangi pucuk-pucuk siwalan. Sofi semakin tidak peduli aku ini siapa. Yang ada di pikirannya, aku ini telah sah menjadi suaminya. Kembali ia mendaratkan satu kecupan di bibirku. Hangat dan membuatku melayang.

Ya. Aku melayang. Terpejam. Sofi juga melayang dan terpejam.

Loading

Average rating 1 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Hasan

    Keren. Bikin lagi “Perempuan Karnivor” dunk..hehe

  2. Kekekeke,,,,,,Suiiip Mantab kreeeen abis Cerpen ini
    Saat DPRD Malang berjamaah korupsi
    hadirlah cerpen Daun hijau bukan daun merah….
    kekekeeee

Leave a Reply

error: Content is protected !!