Cerpen Alif Febriyantoro (Banjarmasin Post, 02 September 2018)

Lidah ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group
Suara rel riuh. Subuh hampir dekat dengan matahari. Dan, kota terbangun bersama sisa hujan semalam. Seorang wanita mengenakan kembali pakaiannya yang berserakan, lalu meninggalkan Pasar Kembang dengan membawa beberapa lembar uang di tangan.
Kereta berangkat kembali dalam keadaan senyap, sunyi, dan bersama pagi yang gigil. Segigil perasaan seorang pelacur yang sedang duduk di bangku penumpang. Ia merasa sedikit gelisah ketika menjumpai beberapa kenangan yang tiba-tiba muncul dari balik pejaman matanya.
“Aku akan menikahimu!” ucap kekasihnya di masa lalu, di sebuah bangku penumpang kereta, di dekat jendela.
“Benarkah?”
“Ya.”
“Aku senang mendengarnya. Karena sebentar lagi, anak yang kukandung ini akan menjumpaimu dalam bentuk sempurna seorang ayah.”
Waktu seakan berhenti beberapa detik, dan keheningan berdiri di celahnya.
“Apa!?”
“Kau hamil?”
Ia segera membuka mata, mengambil napas sedalam-dalamnya, dan sejenak ia merasa kenangan itu pun hilang, bersama detik-detik sebelumnya.
Wanita itu, yang saat ini sibuk menjual kelaminnya demi ekonomi yang selalu surut, adalah wanita yang pernah mengalami masa lalu yang kelam. Ia adalah seorang wanita pemberani yang, tanpa berpikir panjang, memotong lidah sang kekasih yang telah menghamilinya, dan ingkar tentang janji yang berbunyi, aku akan menikahimu. Tentu saja.
Sebenarnya hanya ada sedikit kesalahan, dan hanya perlu sedikit dipoles. Tapi baginya, kebohongan adalah kesalahan yang teramat besar. Dan kenangan yang kelam adalah kesunyian paling buruk baginya.
Sementara, di desa yang jauh, ada dua anak gadis kembar berusia empat tahun yang masih lelap dalam mimpi. Mereka selalu ditinggal ibunya pergi, tepat beberapa detik setelah mereka terlelap. Sebelum pukul 5 sore, sang ibu selalu memberi obat tidur kepada kedua anaknya. Dengan begitu, katanya, mereka tidak akan pernah mengkhawatirkannya dan bertanya ia pergi ke mana setiap malam. Tapi dalam mimpi kedua anaknya, mereka selalu melihat ibunya berjalan ke arah pintu, membuka pintu, dan hilang bersama bulan. “Raina bermimpi ibu dimakan bulan.”
“Sama, Sabrina juga mimpi begitu.”
Ungkap keduanya, di pagi yang lain, setelah mereka terbangun dan menemukan ibnnya sedang sibuk merapikan selimut mereka.
Leave a Reply