Cerpen, Tjak S Parlan

KAU SEDANG MEMBACA APA

1
(1)

“Aku akan pulang besok. Sudah mulai aman sepertinya.”

“Besok aku ke kota, melihat rumah. Aku bisa mengantarmu ke bandara.”

Setelah sosok perempuan itu lenyap ke dalam sebuah tenda, laki-laki itu bergabung dengan sekelompok pengungsi yang sedang duduk-duduk di ujung tanah lapang. Langit mulai meremang dan kecemasan yang samar mulai berdebar di dada setiap orang.

***

Laki-laki itu segera kembali ke kamp pengungsian. Tak ada gunanya berlama-lama di kota—dengan rumah yang retak-retak dan segala sesuatu yang nyaris tak ada—pikir laki-laki itu. Ia membawa beberapa lembar pakaian hangat, obat-obatan seadanya, dan sebuah notebook. Ia tak sedang diburu waktu bulan itu. Pekerjaannya sebagai editor lepas untuk buku-buku fiksi bertema perjalanan, sudah mulai longgar. Selain dirinya sendiri, tak ada lagi yang perlu dicemaskan di kota itu. Istri dan anaknya—yang berpisah dengannya sejak satu tahun sebelumnya— sudah berada di tempat yang aman. Mungkin kedua orang yang selalu dicintainya itu akan tinggal lebih lama di sana. Ia ingat, dulu sebelum berpisah, istrinya pernah mengajaknya pindah dari kota itu, tapi ia menolaknya.

Baca juga: Daun-daun Beluntas – Cerpen Tjak S Parlan (Media Indonesia, 28 Mei 2017) 

Sore itu—tepat seminggu setelah gempa besar—ketika ia tengah duduk-duduk sendirian di tempat yang lebih tinggi tak jauh dari kamp pengungsian, ia teringat kembali kebersamaannya dengan anaknya. Anaknya merajuk, meminta untuk tinggal semalam lagi di rumah kerabat dekatnya. Susah payah ia merayunya, agar anaknya mau kembali ke kota bersamanya. Bagaimana pun ia harus mematuhi pesan mantan istrinya, bahwa anak itu akan masuk sekolah keesokan harinya. Saat mengingat kembali peristiwa itu, ia merasa lebih beruntung. Ia tak bisa membayangkan bagaimana seandainya ia menuruti permintaan anaknya. Malam harinya, guncangan 7,0 SR menghancurleburkan seluruh desa itu. Guncangan hebat itu juga menghancurkan beberapa bangunan di kota. Keesokan paginya, ia kembali ke desa itu, hanya untuk menyaksikan kepedihan yang lainnya: nyawa anak kerabat dekatnya itu tak tertolong karena tertimpa reruntuhan. Ia tak berani mengabarkan hal mengenaskan itu kepada anaknya sendiri. Ia tahu, anak bungsunya memiliki hubungan dekat dengan anak laki-laki usia enam tahunan itu. Ia berpesan kepada mantan istrinya agar mengatakan bahwa untuk sementara anak itu baik-baik saja.

Baca juga  Mata yang Menyiksa

“Tenang saja, aku paham soal itu. Meski sepertinya ia mulai curiga,” ujar mantan istrinya saat ia mengabarinya lewat ponsel. “Ia selalu ingin kembali ke sana.”

“Jangan kembali dulu. Nanti saja, setelah semuanya benar-benar normal.”

“Apa tak sebaiknya kau juga pergi ke tempat lain?”

Laki-laki itu terdiam beberapa saat. Jeda itu terisi oleh suara anak-anak yang sedang bermain dan gemerisik tenda-tenda terpal yang diterpa angin kencang.

“Aku di sini saja. Aku pasti akan menjenguknya…”

Baca juga: Riwayat Beduk – Cerpen Tjak S Parlan (Republika, 01 Juni 2014) 

Selanjutnya jeda kembali. Lalu obrolan itu berakhir dengan datar. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket. Tak berapa lama kemudian, bumi bergetar dan kepalanya terasa pusing. Sebuah truk bermuatan penuh baru saja datang. Ia segera bergabung dengan para relawan.

***

Loading

Average rating 1 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!