Puisi-puisi Muhammad Subhan (Media Indonesia, 24 Juni 2018)
Pulang
Katamu, pulang adalah satu-satunya jalan menjemput
kenangan, juga mimpi-mimpi yang pernah dibingkai,
terurai, dan mengeja kembali riwayat badan yang
sansai.
Tetapi bukankah pulang seringkali merobek luka, juga
ingatan-ingatan purba yang perihnya telah kau kubur
dalam-dalam di ceruk cangkir kopimu.
Rupanya tak berpintu lagi rantau itu.
2018
Kehilangan
Bagaimana cara memaknai kehilangan?
Seperti meneguk kopi yang bersisa ampas, atau
seperti sungai memilin laut sebagai muara?
Ajari aku tentang arti ketabahan, kekuatan, juga
mengembus bara di tungku kesunyian malam yang
mencekam dan mencengkeram urat-urat leher.
Aku menunggumu kembali, membawa kabar bahagia,
atau apa pun namanya.
Tiuplah lilin itu, dan kubur kecemasan di balik
selimut yang membunuh rasa takut.
2018
Angin
Kalau tak ada angin, benih-benih yang disemai tak
akan tumbuh
Kalau tak ada angin, tak ada ingin meniup bara
menjadi unggun.
Kalau tak ada angin udara bertuba.
2018
Sesal
Telah sampai percakapan-percakapan itu, di ujung
waktu
Orang-orang terpekik kehilangan kopi dan cangkircangkir
di meja kehilangan diri.
Ke mana lagi dijemput ketertinggalan, sementara
kereta telah jauh pergi, mengucap salam perpisahan
dan melambaikan tangan pada peron yang didekap
sunyi paling api.
Ratap menguap penyesalan, kenapa dulu tidak
mengulur tangan atau bertanya tentang adakah ruang
untuk berbagi cinta?
Telah sampai percakapan-percakapan itu
Telah sampai ia ke muara.
2018
Seribu Bulan
Ke dermaga juga kau pergi
Mencari biduk yang hendak kau kayuh ke pulau
seribu bulan, dan malam-malam bertabur bintang.
Angin laut menampar wajahmu, dan ombak mengusik
masa lalu yang begitu rindu ingin kau jemput
kembali.
Tetapi waktu tidak pernah kenal kata kompromi.
Sudah hampir selesai kebersamaan itu
Sudah usai kata, cerita-cerita, khatam tali kajinya.
Tinggal ingatan yang sansai, kenapa begitu singkat
pertemuan sementara jamuan masih terhidang di
meja makan?
Tidak ada ucapan lebih syahdu selain kata selamat
tinggal.
2018
Pertemuan
Aku menjumpaimu lagi, di tengah keramaian, di saat
orang-orang duduk mentafakuri handphone dan
menyimpan beban yang entah apa isinya di kepala.
Bola matamu bola mataku menjadi unggun yang
apinya membara dan cahayanya terangi malam gulita.
Tapi, kenapa di kelopak matamu gabak membukit dan
bah hendak tumpah menjadi laut di kotaku?
Seperti ada risau yang kau rawat bersama luka dan
nganganya tak ingin kau sulam.
2018
Bertanya
Tentu kita tidak sekadar bertamu, mengetuk
pintu, mengucap salam, berjabat tangan, duduk
bercengkerama lalu pergi meningalkan kenangan.
Tentu kita tidak sekadar bertamu, menggunjingi
nasib, menertawakan kebodohan, atau memuji-muji
keberhasilan yang dicampuri tangan dan kaki orang
lain.
Tentu kita tidak sekadar bertamu, aku ingin bertanya
sudah sampai di mana luka itu kau jahit?
2018
Risau
Di jalan paling ujung kau menyeka air mata
Mengenang perjalanan panjang menjemput
keridhaan-Nya, dalam subuh yang syahdu,
dalam ceruk malam paling hening dan
jantung, dalam hari-hari paling lembut dan
meluruhkan ketakutan-ketakutan.
Di jalan paling ujung ini tiba-tiba aku merasa
kehilangan kau.
2018
Muhammad Subhan lahir di Medan, 3 Desember 1980. Ia berdomisili di pinggir Kota Padang Panjang, Sumatra Barat. Buku terbarunya berjudul Sajak-Sajak Dibuang Sayang. Pada 2017 Subhan terpilih sebagai Penulis Undangan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) di Ubud, Bali, untuk novelnya berjudul Rumah di Tengah Sawah.
Leave a Reply