Oleh Suroso (Lampung Post, 01 April 2018)

Seni Mencintai ilustrasi Google
Cinta menjadi seni yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Setiap manusia membutuhkan asupan cinta, agar menemukan sebuah kasih sayang. Itulah mengapa cinta adalah kodrat yang dimiliki manusia. Sebagai salah satu upaya untuk meyakini kecintaan terhadap Tuhannya.
Hakikatnya, dalam setiap kehidupan kita selalu terbelenggu dalam cinta. Diri kita menyadari betul cinta adalah sesuatu yang tidak riil. Namun seseorang yang mengagumi cinta ini, tidak akan bertanya bahwa itu adalah sesuatu mengherankan. Sebab dia sudah meyakini bahwa perasaan itu adalah bagian dari kebahagiaannya.
Ketika cinta sudah lahir, hanya ada kerinduan yang senantiasa membayangi. Dia hanya tersadar dalam satu kemungkinan, yaitu mendapatkan balasan atas cinta sesuai dengan apa yang ia rasakan. Sebab dengan demikian dia akan merasa merdeka dari penjajahan cinta tersebut.
Di lain sisi kita juga harus meyakini cinta adalah sebuah upaya untuk menemukan kebahagiaan. Hanya orang yang benar-benar berusaha yang dapat menikmati cinta tersebut. Sebab cinta adalah bagian dari aktivitas manusia yang akan melahirkan sebuah pengetahuan. Sebuah pengetahuan bagaimana menjadi diri sendiri dan memosisikan cinta itu untuk orang lain.
Orang sering mengartikan cinta adalah aktivitas romantis yang dilakukan seseorang. Dari sikapnya yang romantis itu, akan melahirkan sebuah gejolak-gejolak yang kebahagiaan dalam diri sendiri. Di sini cinta digambarkan sebagai pengalaman. Sebuah usaha untuk meyakini bahwa keromantisme itu ada pada diri setiap manusia.
Cinta adalah sebuah aktivitas, bukan afek pasif; cinta adalah keadaan berada dalam, bukan jatuh. Yang paling umum, karakter aktif cinta dapat digambarkan dalam pernyataan bahwa cinta itu memberi bukan menerima. Cinta adalah anak kebebasan, bukan anak kekuasaan. (Hal 35)
Inilah cinta yang selalu melahirkan sebuah dinamika yang menarik untuk dikaji. Yang mencintai bisa membuat sebuah kebahagiaan pada dirinya. Di lain sisi dirinya juga mampu membuat orang yang dicintai merasakan kebahagiaan. Itulah mengapa sebagian orang mengatakan cinta adalah usaha untuk memosisikan diri sebagai insan yang memahami keadaan orang yang dicintainya.
Sejalan dengan itu, cinta bukanlah semata-mata suatu hubungan dengan seseorang; cinta adalah sikap, suatu orientasi karakter yang menentukan keterkaitan seseorang dengan dunia secara keseluruhan, bukan pada satu objek cinta. Misalnya, jika seseorang mencintai hanya satu orang dan tak acuh dengan orang-orang lain, cintanya bukanlah cinta, melainkan keterikatan simbiotis atau egoisme yang meluas.
Seperti yang dikatakan oleh Erich Fromm (selaku penulis), jika aku sungguh mencintai seseorang, aku mencintai semua orang, aku mencintai dunia, aku mencintai kehidupan. Jika aku bisa berkata pada orang lain, “Aku mencintaimu,” aku juga harus bisa berkata, “Dalam diriku aku mencintai semua manusia, melaluimu aku mencintai dunia, dalam dirimu juga aku cintai diriku,” (Hal 69).
Hal ini menunjukkan cinta adalah orientasi yang mengarah pada semua dan tidak pada satu orang. Cinta adalah sebuah upaya tanpa pengekangan. Dia meyakini telah menemukan sebuah kebebasan. Kebebasan yang mengantarkan diri pada kebahagiaan yang lahiriah.
Buku berdimensi perenungan ini sedikitnya membahas empat tema besar. Cinta adalah seni, teori cinta, cinta dan kehancurannya dalam masyarakat barat modern, serta ditutup dengan penerapan seni mencintai. Empat tema ini menjadi salah satu bukti bahwa seseorang yang menemukan cinta dalam diri, harus bisa memahami perjalanan cinta itu sendiri. Sebab setiap percintaan adalah suatu perjalanan yang abstrak. Namun melahirkan sebuah pengalaman.
Lewat buku ini, Erich Fromm memberikan sebuah isyarat bahwa untuk dicintai seseorang harus mencintai. Dengan bahasa yang sistematis dan mudah dipahami. Pembaca akan dengan mudah menguasai buku ini. Diharapkan pula memiliki jalan tengah akan pemikiran penulis.
JUDUL : Seni Mencintai
PENULIS : Erich Fromm
PENERBIT : BASABASI
TAHUN TERBIT : Januari 2018
ISBN : 978-602-665-169-3
HALAMAN : 192 halaman
Suroso, Mahasiswa Studi Agama UIN Sunan Kalijaga.
Leave a Reply