Aku segera mengambil satu batang korek api lalu membakarnya di atas lantai.
“Sekarang, cium bau asapnya.”
“Iya, wangi… Benar-benar wangi, Yah.”
Aku berulang kali menciumi asap kemenyan. Wanginya memang tahan lama. Bahkan setelah kemenyannya habis. Namun tiba-tiba, bulu kudukku menjadi merinding.
“Yah, aku takut.”
Ayah memeluk erat tubuhku, “Masih mau dengar terusannya?”
Baca juga: Pahlawan – Cerpen Herumawan PA (Kedaulatan Rakyat, 13 Agustus 2017)
Aku tak menjawab. Hanya mengangguk pelan. Ayah kembali duduk di kursi. Sementara aku memilih duduk bersila di lantai. Lalu ayah kembali meneruskan perkataannya.
“Asap yang baunya tidak enak.”
“ Contohnya, Yah?”aku bertanya ingin tahu.
“Kamu tahu ayah suka merokok.”
“Iya, sampai habis sebungkus seharinya.”
“Dari mana kamu tahu itu, Nak?” ayah balik bertanya. Aku tak menjawab, langsung menunjuk puluhan bungkus berjejar rapi di rak almari ruang tamu bagian atas.
Tampak ayah tersenyum. Aku menjadi tak enak hati.
“Ternyata kamu tahu benar kebiasaan ayah, ya.”
Aku tertunduk. Tak berani menatap wajah ayah.
“Ayah tidak marah. Ayah juga tak akan melarang atau mengizinkanmu merokok kalau sudah besar nanti. Ayah hanya ingin kamu tahu bahwa di setiap pilihan akan ada dua akibat yang harus kau terima, itu baik atau buruk.”
Baca juga: Ayah Tiri – Cerpen Herumawan PA (Republika, 16 Maret 2014)
Aku mengangguk pelan.
Ayah pun kembali melanjutkan perkataannya.
“Asap yang baunya busuk.”
“Itu asap pembakaran sampah kan, Yah.”
Aku langsung bisa menebak. Ayah mengangguk.
“Dari mana kamu tahu?”
“Karena setiap sore, aku membantu Paman Budi membakar sampah di pekarangan belakang rumah.”
942 total views, 8 views today
Leave a Reply