Andri Wikono, Cerpen, Pikiran Rakyat

Dilarang Melamun di Kelas

5
(2)

Cerpen Andri Wikono (Pikiran Rakyat, 30 September 2018)

Melamun ilustrasi Rizky Zakaria - Pikiran Rakyat.jpg

Melamun ilustrasi Rizky Zakaria/Pikiran Rakyat

SETELAH menegur lembut muridnya yang bernama Markiso, Pak Pandiko kembali mengalirkan arus ilmu pengetahuannya yang sempat menggedor-gedor dinding mulut karena sejenak berhenti. Maka diterangkanlah materi ihwal perkembangan awal suatu tumbuhan, yaitu tahap pembelahan sel, morfogenesis, dan diferensiasi seluler. Secara ilmiah, ketat, dan sistematis, Pak Pandiko menerangkan tiga tahap perkembangan awal tumbuhan tersebut kepada para murid-muridnya.

PAK Pandiko sebenarnya paham betul kalau murid-murid tak mengerti apa yang ia jelaskan. Terutama karena banyak istilah ilmiah yang sengaja ia ucapkan. Kediaman dan anggukan murid-muridnya adalah kamuflase ketidakpahaman. Namun, menurut Pak Pandiko, dunia memang sedang berada pada puncak peradaban, di mana cara berpikir manusia di dalamnya senantiasa ilmiah. “Ini harus dipertahankembangkan,” pikir Pak Pandiko. Manusia harus objektif. Begitulah landasan berpikir Pak Pandiko. Landasan ini pula yang ia pegang dalam menuangkan materi di kelas. Soal ketidakpahaman murid-muridnya, bagi Pak Pandiko, hanyalah sebuah proses yang diyakini akan berujung pada terciptanya manusia­manusia logos, manusia yang selalu berpikir dengan nalar, manusia yang berpikir objektif.

“Markiso?”

Pak Pandiko terpaksa kembali berhenti bicara soal materi. Ia melihat, Markiso tak memperhatikannya untuk kedua kalinya.

Baca juga: Warisan dari Kakek – Cerpen Miftah Amarudin (Pikiran Rakyat, 22 Juli 2018)

Markiso gelagapan, membuat kacamatanya berubah letak. Ia sadar kalau tadi dirinya melamun lagi.

“Apa yang kamu lihat di papan tulis itu?” tanya Pak Pandiko.

Markiso membenarkan letak kacamatanya. Lalu menatap Pak Pandiko.

“Apa kamu punya masalah?” tanya Pak Pandiko sekali lagi.

Markiso hanya diam dan menggeleng.

Baca juga  Bukan Veteran

“Lalu kenapa kamu melamun terus?”

Baca juga: Kesempatan Kedua – Cerpen Muhamad Wildan Kemal (Pikiran Rakyat, 05 Agustus 2018)

Markiso termenung. Tadi dirinya sempat membayangkan kalau di atas papan tulis, gambar burung garuda itu benar-benar hidup. Burung itu melintas­melintas di udara. Ia turun menukik mendekati muka sungai yang airnya jernih. Di permukaan air sungai itu sesekali melintas berbagai jenis capung. Di tepi sungai, ada batu. Dia atas batu lembab itu ada banyak kupu-kupu warna kuning. Di pinggir sungai, ada orang memancing. Itu bukanlah corat-coret tentang materi pelajaran belaka, tetapi lebih seperti sulur-sulur akar tanaman. Ia lihat kemudian, warna akarnya berubah agak putih kecokelatan. Sesekali, di sela-sela akar itu ada ikan kecil seperti ikan gupi dan ikan-ikan berwarna perak yang mirip acang-acang. Markiso sukar memberitahu itu semua pemandangan itu kepada Pak Pandiko. Ia takut jadi bahan olok-olok. Akan dianggap aneh.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!