Cerpen, S Jai

Bidadari yang Tersesat di Neraka

2
(1)

Dus, apa yang tak bisa kupercaya dan kuyakini bila itu datang darimu—perempuan yang kucintai lebih dari hidupku sendiri yang telah nyaris terjengkang ke dalam jurang mahadalam? Lalu, apakah cinta ada hubungannya dengan kota dan impotensi? Mengapa aku tak sampai hati mendebat, membantah, apalagi tak memercayai kata-katamu yang engkau sampaikan selembut itu, dan hanya bisa didengar oleh setiap yang berpendengaran baik? Jawabnya; karena aku sudah mengikis habis, mendepak keras untuk tak lagi mengucapkan kata cinta, justru karena cintaku padamu telah demikian mendarah menubuh dalam diriku. Oleh karena itu, pertanyaanku pun berulang-ulang kusampaikan padamu bukan lantaran aku tak percaya pengetahuanmu, Sayangku.

Baca juga: Anjing Bahagia yang Mati Bunuh Diri – Cerpen Agus Noor (Kompas, 07 Agustus 2016)

Di jalanan, ketika dengan keherananku, aku melihat kerumunan lelaki bersarung dan berpeci di kedai-kedai kopi, perempuan-perempuan berkerudung di toko, pasar, warung, dan teriakan remaja-remaja yang pulang sekolah, serta anak-anak badung yang mengaji di musala, kau malah balik bertanya; apakah dalam benakmu kau masih meyakini ini adalah sebuah kota?

“Ini bukanlah kota. Ini neraka,” tandasmu. “Aku tidak menyalahkan lelaki yang tak bisa ereksi dalam keadaan demikian—siksa hidup di neraka.”

II

Kami bersepakat untuk mempercepat waktu. Bahkan dendam dan kesumat terang-terangan kulayangkan pada-Nya yang telah menenggelamkan puluhan tahun jalan hidup dan kehidupan kami. Tuhan, bagi kami, telah menggunting waktu kebersamaan kami cukup lama dan lalu menyambung kembali dalam beberapa minggu, dan hari ini ketika menyempatkan pakansi untuk pertama kali. Pakansi yang sesungguhnya belum saatnya bagi sejoli yang berbagi hati. Akan tetapi, percepatan waktu tersebab kesumat oleh karena lenyapnya waktu lalu, menyebabkan kalimat-kalimat, pertanyaan-pertanyaan, ucapan, kesimpulan pun kami dorong dengan pepatah ikan sepat ikan gabus—lebih cepat lebih bagus.

Baca juga  Lelaki yang Tubuhnya Habis Dimakan Ikan-Ikan Kecil

Baca juga: Sindikat Pemalsu Kenangan – Cerpen Agus Noor (Jawa Pos, 02 Juli 2017)

“Ya, bukankah kita tak boleh kalah oleh waktu, Sayangku?” kupandangi binar tajam matamu siang itu di sebuah kedai singup dekat alun-alun—yang sudah bubrah diganti oleh pancangan besi-besi beton dan semen, aku meyakinkannya, sebagaimana untuk menguatkan keyakinanku sendiri pula. “Meski demikian tak berarti kita lantas meniadakan Tuhan. Malah aku bersyukur kau disemayamkan-Nya dalam diriku selama ini, kemudian diterbitkannya kembali puluhan tahun mendatang, pada saat ini.”

Loading

Average rating 2 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. Tonk

    Bersambung? Minggu depan bag 2 ini pa gimana?

  2. Heri setyono

    Mohon maaf. Mau tanya, kalau mau mengirimkan cerpen ke KORAN JAWA POS bagaimana ya caranya?

    Via email kah? Atau harus langsung datang ke kantornya?

Leave a Reply

error: Content is protected !!