Cerpen Mawan Belgia (Radar Banyuwangi, 14 Oktober 2018)
Siding tidak cemburu pada ayahnya. Melainkan ia malu pada Tuhan, ayahnya sudah terlalu jauh melakukan penyimpangan. Karena itulah Siding tidak punya alasan lagi untuk tidak membunuh ayahnya sendiri. Atas nama melenyapkan kemungkaran, ia menebas leher ayahnya hingga terputus. Ketika itu ayahnya tengah tertidur lelap. Darah mengucur deras ke arahnya. Memercik ke dinding dan lantai.
Di halaman belakang rumahnya sudah disiapkan galian, ia melemparkan begitu saja mayat ayahnya. Ditanam bersama bunga kamboja. Lalu Siding membersihkan darah di dalam kamar itu. “Aku hanya membunuh kemungkaran dalam dirimu, Ayah, Tuhan pun tahu itu,” batin Siding melangkah ke tempat tidurnya. Ia betul-betul nyenyak setelah melakukan pembunuhan teramat sadis itu.
***
Pagi-pagi datanglah sepasang suami istri beserta anaknya yang masih balita. Mata anaknya tampak cekung, tubuhnya kurus kerempeng. Anak itu sakit. Tamunya juga membawa cerek berisi air diletakkan di atas meja. Belum juga tamu membuka mulut, Siding terlebih dahulu berbicara.
“Sepertinya ayahku sudah tidak akan kembali ke rumah ini lagi. Demi ketenangannya di sana, berhentilah menuhankan dia. Untuk kesembuhan anakmu, mintalah pada Tuhan dan ikhtiar berobat ke dokter. Bukan malah meminta dibacakan jampi-jampi.” Mereka tidak menyangka Siding akan berucap demikian.
“Kami perlu bertemu Tuan, dan jangan halangi kami! Kalaupun apa yang kami lakukan ini sebuah kesalahan, kami yang akan bertanggung jawab. Katakan di mana Tuan!” seru sang suami.
“Dia sedang melakukan perjalanan ke tempat abadi. Aku tidak ingin berlama-lama menemani kalian di sini. Terserah mau menunggunya atau pulang. Jelasnya kembalinya dia ke rumah ini adalah kemustahilan.” Siding berlalu dari hadapan mereka. Mereka hanya saling tatap penuh tanda tanya.
Leave a Reply