Setelah semuanya usai, orang-orang itu pulang, tak lupa menyisipkan amplop ke kantong Hammadong sebagai ungkapan terima kasih mereka karena telah disembuhkan penyakitnya.
Tengah malam Siding membuntuti Hammadong keluar rumah. Hammadong membawa makanan makanan dan anak ayam itu. Ia tak henti-hentinya memandang kanan kiri, memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Siding terus membuntuti ayahnya berjalan ke belakang rumah. Ia berhenti di kebun mereka. Tepatnya di bawah pohon bambu.
Bulan bersinar cukup terang. Sehingga Siding bisa mengamati ayahnya dari balik pohon ketapang, kira kira dua puluh meter dari pohon bambu tersebut. Siding heran dengan perbuatan ayahnya di tengah malam begitu.
Terlebih dahulu Hammadong melepaskan anak ayam tersebut, mulutnya masih komat-kamit. Sajen itu diletakkan dengan rapi di atas tanah. Hammadong mundur beberapa langkah, dengan khusyuk menundukkan kepala, mulutnya kembali bergerak.
Siding dibuat penasaran, pagi-pagi sekali ia mendatangi pohon bambu itu. Makanan makanan itu lenyap tak berbekas. Ia membeberkan kesaksiannya pada salah seorang pemuka agama. “Ayahmu menyerahkan sajen itu pada setan-setan peliharaannya. Ketika ayahmu tidak melakukan itu, maka anggota keluarganya akan menjadi korban. Kematian ibumu adalah kelalaian ayahmu tidak memberi makan mereka,” jelas pemuka agama.
***
“Aku akan membunuhmu jika tidak menghentikan segala kesyirikan itu, Ayah,” ucap Siding di hadapan Hammadong suatu hari. Siding benar-benar sudah muak apa yang telah dilakukan ayahnya selama ini.
Tentu saja Hammadong tidak menganggap ancaman Siding adalah sesuatu yang serius. “Apakah aku harus percaya dengan ucapanmu?” tanya Hammadong tanpa menoleh padanya. “Lagipula aku hanya ingin berbuat baik pada mereka. Apakah agama melarang berbuat kebaikan?” Hammadong melanjutkan.
“Itu jalan yang salah, Ayah. Betapa Tuhan sangat tidak menyukai dipersekutukan oleh hamba Nya,” sergah Siding.
“Sudahlah! Aku tidak ingin berdebat panjang lebar dengan anakku sendiri,” Hammadong menyingkir dari hadapannya.
Leave a Reply