Beni Setia, Cerpen

Balung Kere

1
(1)

Baca juga: Hanya Anjing yang Boleh Kencing di Sini – Cerpen Mashdar Zainal (Jawa Pos, 12 Agustus 2018)

Menjelang ujung petang—padahal telah sengaja dikabari oleh Nyi Mas Tibaniah—Sukrojendra baru muncul. Tanpa suara, tidak ribut seperti biasanya. Menyelinap ke kamar induk, dan berbisik-bisik membuat satu permufakatan dengan istri. Kemudian menyuruh Mbok Tenan agar memanggil Glugu Kepruk—tukang kepruk Sukojendro—, Argadil, dan Blandar Setan—si pencoleng kayu Perhutani. Menjelang Magrib mereka berbisik-bisik di pojok kandang. Gegrasana pun dipanggil bapaknya, disuruh pergi ke rumah kamituwa Wana Lambe—mengantar surat penting sehingga disuruh menungu jawaban. “Jangan sampe ndak ketemu, jangan ndak bawa balasan,” kata Sukrojendra sambil menyerahkan kunci sepeda dan lampu senter. Sepuluh menit setelah Gegrasana pergi, keempat orang itu menyelinap ke kamar Gegrasana.

Baca juga: Para Pahlawan Gaib – Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Jawa Pos, 19 Agustus 2018)

Menyergap si wanita—tak berpakaian lengkap, bergelung di dalam selimut kain panjang, setengah terlelap setelah persetubuhan yang berulang setelah berpisah enam minggu. Menyergapnya agar tidak kuasa berontak, lalu menjeratnya dengan tambang pengikat sapi –tanpa suara, tanpa keributan. Hanya suara jerit tersitahan, debup suara rontaan di ranjang, dan bunyi gelas pecah setelah bunyi tutup gelas terbanting karena tersenggol di kelam ruang tak berpenerangan. Dan malam itu petromaks tak dinyalakan di rumah Sukrojendra—hanya ada lampu sentir yang sumbunya ditarik pendek. Suram. Mencekam. Sunyi. Perempuan itu segera kaku, matio dikeroyok empat lelaki—di dua puluh dua tahun kemudian Argadil memerinci: Ia menerkam kakinya, Glugu Kepruk menekan tangan dari bahu kirinya, sedang Blandar Setan menekan tangan serta bahu kanannya. Hanya ada rontaan kaget terjaga, lalu suara tercekat dari leher yang dijerat, dan bau sperma kering bekas persetubuhan sebelumnya. (bersambung)

Baca juga  Lelaki Herbivora

 

CATATAN:

tetenger: pertanda, maksudnya tulisan pada nisan;

slametan: kenduri kirim doa minta keselamatan kepada Allah dan leluhur;

pendhak taun: temu tahun, ritual slametan setahun hari kematian;

nyakrawati: tinggal dan berkuasa;

lor: utara;

kamituwa: kepala dusun, membawahkan beberapa kampung;

Sekolah Dagang: sekolah kejuruan dengan spesialisasi ekonomi di era pascakolonial Belanda, dekade 1950-an, setara dengan SMEA di dekade 1960-an ke atas.

ragil : anak bungsu

kelonan : tidur bareng, maksudnya bersanggama

 

Beni Setiapengarang.

Loading

Average rating 1 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. Saya bingung isi ceritanya. Karena bahasa2 y di gunakan dan nama t4 nya

  2. produsenringtinju

    ku baca nya setengah setengah kebnykan soalnya wkwk, tpi bagus ceritanya meski ku bru ngerti sedikit dikit

  3. Hanya ada 4 nama tempat (kota) yang bisa saya lacak dari cerita pendek “Balung Kere”, yaitu:
    Damiun = Madiun
    Napagara = Ponorogo
    Ngunjak = Nganjuk
    Sauryaba = Surabaya
    Sedangkan nama-nama tokoh, ini merupakan kebiasaan Beni Sejak dulu, tahun 1990-an. Ia menggunakan nama-nama yang aneh, pengolahan dari istilah-istilah Jawa. Saya masih teringat nama tokoh “Paculakeh” dan “Nonos” dalam salah satu cerita pendeknya di tahun 1990-an atau sebelumnya ya.
    Terus berkarya, Bang, meski cerita pendek panjenengan tidak mudah untuk dicerna. Dan selalu menyoroti perilaku orang-orang di sekitar panjenengan.

Leave a Reply

error: Content is protected !!