Di sudut-sudut paling rimbun kebun tebu milik pabrik gula Mas Kancil Bangil, berkeliaran hantu-hantu dari orang-orang yang mati tidak wajar. Hantu-hantu itu menjauh ketika Brodin pertama kali tiba di sana setelah mati.
“Kenapa kalian menjauhiku?” teriak Brodin dengan suara serak, sebab tenggorokannya bocor dan darah muncrat setiap kali ia berbicara.
Hantu-hantu itu memalingkan wajah, berbicara satu sama lain, sama sekali mengabaikan Brodin.
“Dasar setan!” maki Brodin.
“Kami hantu, bukan setan,” sesosok hantu tiba-tiba menyahut, namun buru-buru memalingkan wajah kembali, membelakangi Brodin.
***
Dari Sakerah, Brodin pertama kali mendengar jika di sudut-sudut paling rimbun kebun tebu milik pabrik gula Mas Kancil Bangil berkeliaran hantu-hantu dari orang-orang yang mati tidak wajar.
“Hantu pertama,” kata Sakerah waktu itu, “hantu bocah enam tahun yang dikubur hidup-hidup sebagai tumbal kebun tebu ini. Orang-orang Belanda tidak percaya bahwa seorang anak harus dikorbankan sebelum tebu pertama ditanam. Namun dukun-dukun pribumi meyakinkan mereka. Dan orang-orang Belanda itu berpikir tidak ada ruginya selama yang dikorbankan itu bukan salah satu dari mereka.”
“Bagaimana orang tua bocah itu?”
Sakerah menggedikkan bahu. Lantas mengajarinya cara-cara paling mangkus dan sangkil memotong batang tebu yang siap panen, membawa batang-batang tebu itu ke lori-lori yang kemudian mengirim batang-batang tebu itu ke pabrik gula.
“Siapa hantu kedua di sana?” tanya Brodin suatu kali, ketika mereka beristirahat sambil mengisap klembak menyan.
“Aku tidak tahu,” jawab Sakerah, “Tapi bisa kupastikan kepadamu bahwa aku telah menambah empat hantu baru di sana. Dan keempatnya adalah hantu-hantu berkulit putih.”
“Kau melakukannya?”
“Ya, aku melakukannya. Dan tak ada yang tahu.”
“Dan kau akan melakukannya lagi?”
“Aku akan melakukannya lagi sebab aku tidak suka orang-orang Belanda itu.”
Brodin tidak percaya hantu sebab ia tidak pernah melihat hantu. Namun ia percaya Sakerah pernah membunuh empat orang Belanda. Sekali waktu, Sakerah menunjukkan celurit besar yang ia pakai untuk menebas leher orang-orang Belanda itu.
“Mayat mereka kukubur di kebun tebu itu juga, di tempat di mana dulu sekali si bocah dikuburkan hidup-hidup,” kata Sakerah.
Buk Sakerah, istri tua Sakerah, membenarkan cerita itu. “Pamanmu memang keras,” kata perempuan setengah baya itu. “Seperti yang kau tahu, orang-orang Belanda pemilik pabrik gula itu memberi upah rendah kepada para pegawai. Mereka juga sering memaksa penduduk untuk menjual tanah jika mereka ingin memperluas lahan. Karena itulah pamanmu membenci mereka.”
Marlena, istri kedua Sakerah, yang bahkan lebih muda ketimbang Brodin, lebih banyak diam. Sesekali, ia melirik ke arah Brodin.
Suatu hari, Sakerah memanggil Brodin. “Kau tahu Markus?” tanya Sakerah.
Brodin mengangguk, “Si centheng itu?” Brodin memastikan.
“Ya. Kemarin dia mematahkan tangan dan kaki seorang buruh, hanya karena buruh itu mencuri segenggam gula.”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan menambah satu lagi hantu di kebun gula ini. Dan kali ini bukan hantu Belanda.”
Markus si centheng tidak menjadi hantu sebelum ia berlari ke kantor Administratur Herman dengan batok kepala cuil dan luka menganga di badan.
Para pengawal menemukannya, mendengar dari mulutnya sendiri apa yang terjadi, lalu ia mati dan arwahnya berkeliaran di sudut-sudut paling rimbun kebun tebu milik pabrik gula Mas Kancil Bangil. Para pengawal, bersenjata lengkap, kemudian menghabiskan hari mencari Sakerah. Namun Sakerah, yang gagal membunuh Markus di palagan, kabur entah ke mana.
Kepada para pengawal, Administratur Herman kemudian berkata, “Kalian tangkap istri-istri Sakerah. Dan sebarkan pengumuman, kalau Sakerah tidak menyerah, kita akan menghukum kedua istrinya.”
Sakerah menemui Brodin sebelum menyerahkan diri. “Jaga baik-baik bibi-bibimu selama aku menjalani hukuman,” katanya.
“Kau akan menyerahkan diri?” tanya Brodin. “Mereka mungkin akan menjatuhkan hukuman mati kepadamu.”
“Bagi orang-orang seperti kita,” kata Sakerah, “Tidak ada yang lebih penting ketimbang istri kita. Dan aku rela melakukan apa pun untuk mereka.”
“Aku akan menjaga mereka,” jawab Brodin.
“Dan jangan berbuat macam-macam.”
“Aku tidak akan berbuat macam-macam.”
“Di dunia orang hidup dan orang mati, tak ada tempat bagi lelaki yang merusak istri orang lain. Apalagi bila itu istri pamannya sendiri.”
“Aku mengerti,” kata Brodin.
***
Brodin mengira hantu-hantu dari sudut-sudut paling rimbun kebun tebu milik pabrik gula Mas Kancil Bangil mendatangi dan mengganggunya sepekan setelah Sakerah ditangkap dan dijatuhi hukuman dua puluh tahun penjara di Kalisosok. Ia datang tiap hari ke rumah Sakerah untuk memeriksa kedua istri pamannya itu. Ia membawa ikan asin dan beras. Ia membetulkan genting yang bocor. Ia membersihkan rumput yang mulai meninggi.
Buk Sakerah selalu menyambutnya hangat. Menyuguhinya ubi rebus. Lalu berkata, “Semoga pamanmu baik-baik saja di sana.”
Marlena diam seperti orang bisu. Kadang-kadang, ketika tidak sengaja mereka bersiborok, Marlena buru-buru menundukkan wajah yang memerah, lantas lari ke kamarnya.
Brodin sedang membersihkan rumput di samping kamar Marlena ketika ia merasa hantu-hantu dari sudut-sudut paling rimbun kebun tebu milik pabrik gula Mas Kancil Bangil mendatangi dan mengganggunya. Sebutir kerikil jatuh menimpa punggungnya. Ia bangkit dan menoleh sekeliling. Ia sempat melihat jendela kamar Marlena terbuka. Tapi tidak ada orang. Lalu ia meneruskan membersihkan rumput. Dan kembali sebutir kerikil menimpa punggungnya. Ia kembali bangkit dan menoleh. Dan kembali tak menemukan apa-apa.
Rumput di samping kamar Marlena lebat bukan kepalang. Keesokan harinya, Brodin kembali membersihkannya. Dan timpukan kerikil berkali-kali menimpa punggungnya. “Tak diragukan lagi,” desis Brodin, “Ini ulah hantu Markus dan empat hantu Belanda lainnya. Mereka ingin membalas dendam dengan mengganggu bibi-bibiku.”
Lalu ia mendengar ssttt sssttt panjang dari belakang. Ia menoleh. Jendela Marlena terbuka. Ia melihat Marlena. Hanya dibebat kain tipis.
“Hantu,” Brodin kembali mendesis dengan nada yang berbeda dari sebelumnya, “Hantu Marlena.”
***
Para pekerja di kebun tebu milik pabrik gula Mas Kancil Bangil sudah tidak pernah lagi melihat Brodin berada di kebun tebu. Desas-desus berkembang. Lalu ada yang mengatakan bahwa Brodin sekarang selalu berada di rumah Sakerah. “Dia keponakan yang baik,” kata orang-orang.
“Dia bahkan rela tidak bekerja demi menjaga istri-istri pamannya.”
Suatu hari, Buk Sakerah datang ke kebun tebu milik pabrik gula Mas Kancil Bangil dan berkata kepada salah satu dari para pekerja. “Benar-benar celaka anak itu, benar-benar celaka.”
“Ada apa?”
“Brodin, Brodin dan Marlena, Brodin dan bibinya, Brodin dan istri pamannya itu, Brodin dan maduku…”
“Apa yang terjadi dengan mereka?”
“Brodin, Brodin dan Marlena, Brodin dan bibinya, Brodin dan istri pamannya itu, Brodi dan maduku… bermain gila. Aku memergoki mereka bermain gila.”
“Di mana?”
“Di rumahku sendiri!”
***
Hantu-hantu dari sudut-sudut paling rimbun kebun tebu milik pabrik gula Mas Kancil Bangil di Pasuruan meninggalkan sarang mereka dan menempuh puluhan kilometer ke penjara Kalisosok di Surabaya untuk menemui Sakerah.
“Tak ada yang boleh menjengukmu,” kata mereka, “Karena itu kau tidak tahu apa yang terjadi di luar sana.”
“Apa yang terjadi di luar sana?”
“Brodin dan Marlena, keponakan dan istri keduamu itu…”
“Apa yang terjadi dengan mereka?”
“Menurutmu apa yang terjadi dengan mereka sehingga kami jauh-jauh datang kemari?”
***
Sebelum menjadi hantu, Brodin mengisap manis terakhir dari bibir Marlena. Beberapa waktu yang lalu, Buk Sakerah yang marah telah berkata kepada mereka, “Aku telah memberi tahu semua orang di kebun tebu kalau kalian bermain gila. Dan aku yakin hantu-hantu juga sudah mendengarnya. Hantu-hantu itu, kalian perlu tahu, akan pergi memberitahu Sakerah. Dan ia akan datang. Tak peduli bagaimana caranya, ia akan lari dari penjara dan membunuhmu.”
“Orang hidup dan orang mati,” tambah Buk Sakerah, “Memiliki musuh yang sama, yaitu orang-orang penyelingkuh!”
Di dalam dekapan Brodin, Marlena bertanya, “Apa dia benar-benar akan datang?”
Brodin mengangguk. “Dia akan datang. Aku tahu dia bisa menjebol tembok setebal apa pun atau membengkokkan besi sekuat apa pun.”
“Kalau begitu kau akan mati.”
“Aku akan mati kalau aku akan mati.”
“Dan kita berpisah. Selamanya.”
“Tidak. Sebagai hantu, aku akan lebih mudah menemuimu. Dan kita akan tetap terus bersama.”
Lalu mereka dengar suara teriakan itu. Teriakan penuh amarah dari Sakerah.
Dadang Ari Murtono. Lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020).
654 total views, 5 views today
Leave a Reply