Cerpen Angga T Sanjaya (Suara Merdeka, 04 November 2018)

Negeri Asap ilustrasi Suara Merdeka
Sejak kecil aku tidak pernah jauh dari asap. Pagi hari, asap membubung dari dapur saat Emak memasak. Asap mengepul di dapur sebelum terlempar jauh tinggi ke awang-awang. Aku selalu ingin ikut Emak memasak, tapi Emak melarang. Kata Emak, asap itu tidak baik, suatu saat bisa membunuhku. Mendengar ucapan Emak, aku heran. Sebab, Bapak selalu menghirup asap sambil memegang rokok kretek. Toh Bapak tidak mati.
Setiap hari aku juga membuat asap seperti Emak. Sore hari, aku dan dua temanku, Enggar Cino dan Halim Kliwir, suka sekali membakar uwuh di belakang rumah. Sebelumnya, kami kumpulkan uwuh berupa daun-daun kering dan sampah dari dalam rumah. Kami mengumpulkan dan membakar ramai-ramai. Asap ke mana-mana, sebelum membubung ke langit.
Kami bertiga sepakat memberi nama itu negeri asap, karena seluruh udara putih kental. Mirip negeri dongeng yang pernah Emak ceritakan.
Semua kecintaanku terhadap asap bermula dari situ. Dari sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah liat.
Baca juga: Lelaki Itu Memilih Pintu Berbeda – Cerpen Ismul Farikhah (Suara Merdeka, 28 Oktober 2018)
Setiap hari bila Emak memasak, tanpa diperintah aku mengumpulkan kayu di belakang rumah. Emak tidak mengizinkan aku ikut memasak. Aku berulang kali menawar, merengek, agar diberi tugas membakar kayu. Emak akhirnya setuju. Aku senang sekali. Mulai saat itu ketika Emak hendak memasak, pagi dan sore, aku menjadi tukang bakar. Aku yang membuat nyala api di dapur Emak.
Mulai saat itu tugasku bertambah. Bukan hanya jadi juru kumpul kayu. Pangkatku pun naik, jadi juru bakar. Aku senang sekali. Setiap kali Emak bersiap memasak, kayu sudah kutata di tungku. Tungku itu terbuat dari dua batu kotak besar dengan lubang di tengahtengah. Di situlah tempat membakar kayu; asap membubung. Aku senang sekali, negeri asap buatanku akhirnya jadi.
Baca juga: Maria dan Mario – Cerpen Mashdar Zainal (Suara Merdeka, 14 Oktober 2018)
Suatu sore, setelah membuat negeri asap di dalam rumah, aku pergi ke belakang rumah. Enggar Cino dan Halim Kliwir sudah menunggu. Sore itu kami bertiga akan membuat negeri asap lagi. Seperti biasa, sampah rumah dan daun kering kami kumpulkan. Lalu kami bakar ramai-ramai dengan korek kayu. Aku meminjam korek kayu Bapak, meski tidak minta izin. Sore-sore biasanya Bapak tidak menghirup asap. Bapak sedang tidur di bangku bambu depan rumah.
Leave a Reply