Cerpen Catherine Lacey (Haluan, 11 November 2018)
DARI sederet cerita tentang hal buruk yang terjadi dalam hidupku, salah satunya adalah tentang bagaimana aku bertemu suamiku.
Hari itu, ia mengenakan setelan jas dengan dasi merah tua. Bola matanya menjadi tampak lebih hijau dan rona pink pucat timbul di wajahnya. Ia sudah berumur 33 tahun tapi masih terlihat muda. Sedangkan aku yang baru berumur 21 tahun selalu dikira lebih tua. Waktu itu kami duduk bersebelahan di ruang tunggu sebuah kantor polisi yang sempit selama dua puluh menit. Sama sekali tak ada sepatah kata. Kami bahkan tidak melihat satu sama lain. Sulit rasanya ketika yang kau pikirkan hanyalah tentang ‘apa yang bisa dilakukan seorang wanita untuk dirinya sendiri’, atau tentang ‘bagaimana halaman berbatu bata di sore hari pada musim gugur yang indah bisa tiba-tiba menjadi tempat yang tak ingin kau kunjungi lagi’. Para petugas terlihat sedang menelepon. Beberapa dari mereka sedang berbicara melalui walkietalkie, dan seorang petugas berjalan ke arahku; menanyakan nama.
“Elyria Marcus,” jawabku.
“Apakah anda kerabat dari Ruby?”
“Ya, saudara angkat,” kubilang. Karena kurasa mereka sadar bahwa Ruby berperawakan seperti orang Korea. Sedangkan jika dilihat penampilanku, jelas saja aku tidak Korea sama sekali. Petugas itu mengangguk paham kemudian menuliskan sesuatu pada catatan kecilnya. Ia lalu menatap suamiku—yang pada saat itu hanyalah orang asing yang sedang duduk di sampingku. Sama sekali belum terpikir tentang siapa dia dan mengapa dia duduk di sana.
“Permisi, Pak. Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan jika anda tidak keberatan,” kata petugas itu.
“Silakan,” jawabnya. Kemudian ia mengikuti petugas ke bagian belakang kantor.
Tepat ketika lelaki itu pergi, ibuku datang. Ia terlihat begitu lemas dan kurang tidur karena hal-hal yang Ayah lakukan padanya akhir-akhir ini. Tentu saja Ayah tidak ikut. Lelaki tua itu sedang berada di Puerto Rico, melakukan hal-hal tidak pantas dengan para wanita di sana. Ibu jatuh terduduk ke kursi di sampingku.
“Ah, hangatnya,” ucapnya samar. “Kejutan yang menyenangkan sekali.”
Ia melingkarkan lengannya ke tubuhku, merebahkan kepalanya di pundakku.
“Oh sayang, bayi kecilku, hanya tinggal kau dan aku sekarang. Tak ada lagi cincin Ruby, tak ada lagi sandal Ruby, atau bahkan hari Selasa-nya Ruby. Oh, Ruby-ku.”
Aku sudah biasa mendengar orang-orang yang sedang berada dalam situasi seperti ini, berbicara tak masuk akal. Tapi lihatlah, ibuku bahkan tidak menangis. Kemudian yang membuatku merasa lebih buruk lagi adalah, aku juga tidak menangis. Sedari tadi aku berusaha agar terlihat terkejut dan terguncang, tapi tidak berhasil. Tentu saja ibu tidak mencoba berpura-pura sepertiku, karena dia memang setega itu. Seorang petugas datang untuk mengucapkan belasungkawa, juga meminta ibu menandatangani sesuatu. Ibu menyodorkan tangan, meminta agar petugas itu menciumnya. Namun, petugas itu hanya menjabat tangan ibu dengan canggung, lalu menarik lagi tangannya.
“Oh, Ruby-ku, Ruby-ku yang berharga. Apa yang selalu ia tanyakan, Elyria? ‘apa aku putri keturunan Asia kesukaanmu, Ibu?’ Oh, Elly, kau juga tahu dia adalah satu-satunya putri Asiaku. Menurutmu apa maksudnya? Aku tidak pernah paham. Atau itu hanya candaan? Apa dia pernah memberitahumu apa maksudnya?”
Aku menyeka noda lipstik di hidungnya. Sepertinya ia memakai lipstik ketika sedang mengemudi, dan ternyata memang demikian.
“Itu hanya lelucon, Bu,” jawabku.
“Elyria, Ruby sangatlah cantik. Orang-orang pasti heran bagaimana ia bisa betah berada di tengah-tengah keluarga jelek seperti kita. Orang-orang di luar sana pasti bertanya-tanya. Bahkan aku pun heran. Kadang aku terjaga sepanjang malam hanya untuk menatapnya, aku heran bagaimana ia bisa tahan. Tapi mungkin ia sudah tak tahan lagi, oleh keburukan kita.”
“Ibu, sudahlah.”
“Lagipula bukan salah kita. Kita memang terlahir seperti ini. Ya, bukankah begitu sayang, tapi—”
“Jika ibu tidak berhenti membicarakan ini, aku akan pergi dan tidak akan berbicara denganmu lagi.”
Aku sudah sering mengatakan hal seperti itu pada ibu, dan untungnya ia mengerti bahwa aku sudah muak.
Ibu membenarkan posisi duduknya, menepis rambut dari wajahnya. Wanita tua itu menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan, menatap mataku, meraih tanganku, dan memegangnya erat. Selama bertahun-tahun momen seperti ini baru sekali terjadi, tetapi berakhir dengan cepat.
“Aku harus merokok,” katanya sembari terhuyung pergi. Melalui dinding-dinding kaca transparan kantor polisi, tampak ia menyalakan rokoknya–rokok pertama yang jumlahnya akan menjadi belasan dalam waktu dekat. Setiap beberapa menit seseorang akan berjalan di dekatnya sambil sedikit merunduk. “Permisi.” Aku bisa membaca gerak mulut mereka sembari menunjuk ke tanda, Mohon untuk Tidak Merokok dalam Jarak 15 meter dari Pintu, lalu ibuku akan memotong kata-kata mereka sambil berteriak. ‘Apa kamu tau putriku? Ruby Marcus?? Dia baru saja meninggal dan bukan karena asap rokok!’
Jika kata-katanya tidak mempan, ia hanya akan menambahkan, ‘Sialan, pergi! Aku sedang berduka,’ yang kemudian menyelesaikan persoalannya.
Pria yang masuk bersama petugas sebelumnya ternyata adalah seorang professor. Ia baru saja kembali dan berhenti di hadapanku, berdiri agak dekat. Ia pucat, tetapi cukup bersinar. Setelannya terlihat agak kebesaran di bagian pinggang, tetapi agak pendek di bagian lengan.
“Apa kamu ingin mengetahui sesuatu? Tentang saudaramu? Saya adalah orang terakhir yang, ya… kamu tahu, berbicara dengannya.”
“Begitulah yang mereka pikir.”
“Aku sebenarnya tidak begitu peduli tentang apa yang dibicarakan Ruby dengan professor-professornya. Aku bersama Ruby tadi pagi dan dia bukanlah orang yang sulit ditebak. Pagi tadi kami beriringan berdua sembari meminum secangkir kopi. Dia terlihat sedang tidak baik, mungkin sudah berhari-hari tidak tidur. Dia berkata bahwa keadaannya bahkan sedang lebih buruk dari yang terlihat.”
Lalu aku bertanya, “Seberapa buruk?”
Namun dia bilang, “Sedang tidak ingin membicarakannya. Aku tidak akan membahasnya jika dia tidak mau. Maka pagi itu kami tidak membicarakan apa pun. Kami menghabiskan kopi dan kemudian berjalan ke arah yang berlawanan. Aku tau, —sedikit banyaknya ini salahku, tapi aku tak pernah menduga dia akan melakukan hal sejauh ini.”
Jadi, aku benar-benar tidak ingin berbicara dengan siapa pun hari ini, apalagi tentang Ruby. Namun, suara pria yang sedang berdiri di hadapanku ini, sangatlah tenang. Dia terdengar seperti seorang penyiar radio dan aku ingin terus mendengarkannya. Aku ingin suaranya terus terdengar, lagi, dan lagi. Ibuku menyalakan sebatang rokoknya lagi sembari bersandar ke jendela kaca, bra hitamnya tampak samar di balik kain kusamnya.
“Baiklah,” ujarku. “Akan kudengarkan.”
Pria di hadapanku duduk perlahan, lututnya agak mengarah padaku.
“Saya mengenal Ruby sejak semester baru dimulai, dia asisten pengajar saya. Ruby memiliki tekad yang kuat, fokus, dan sangat cerdas. Dia sangat berbakat. Kau tau, saya telah melakukan beberapa penelitian luar biasa. Dan kau tidak akan menyangka seberapa cerdas dia untuk orang seusianya.”
Kalimatnya kaku dan datar. Seakan-akan ia telah menyiapkan sepanjang hari.
“Aku tidak pernah tahu tentang apa yang dia lakukan,” ujarku. “Kami tidak pernah membicarakannya.”
“Ya, saya tidak tahu bagaimana cara menjelaskan keadaan Ruby hari ini. Saya tidak ahli dalam membaca ekspresi wajah. Tapi sepertinya memang ada yang sedang ia pikirkan. Dia mampir ke ruangan saya menyerahkan beberapa laporan yang sedang ia kerjakan, kemudian pergi begitu saja.”
“Tentang apa itu?”
“Maksudmu?”
“Laporan itu. Apakah penting?”
“Ah, um, tidak. Tidak juga. Hanya laporan biasa. Tentang penelitian yang biasa dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana. Dia mampu melakukan yang lebih dari itu. Ia sedang mengerjakan beberapa hal menarik akhir-akhir ini.”
“Oh….”
“Maaf.”
“Oh, tidak apa-apa. Maksudku, tidak apa-apa jika laporan itu hanyalah tentang penelitian biasa.”
“Bukan, maksudku, maaf. Tentang semuanya, tentang dia….”
“Aku mengerti….”
Lalu aku berharap bisa menangis; setidaknya sebentar saja. Agar aku bisa lebih merasa manusiawi.
Ibuku sedang meneriaki seseorang di luar. Napasnya mengeluarkan asap kecil.
“Terima kasih,” kataku pada Professor itu.
Ia mengangguk. Pria itu meletakkan tangannya di lutut lalu sedikit bersandar, kemudian membungkuk lagi. Ia memperhatikan ibuku yang masih saja memaki-maki; kemudian menunduk.
Ibu saya…. ketika saya berumur dua puluh tahun, dia melakukan hal yang sama dengan yang Ruby lakukan. Dan, saya hanya, ya…. kau tahu, semenjak kejadian itu, baru kali ini saya benar-benar memikirkannya.
Aku tidak mengatakan apapun. Ibuku menyalakan sebatang rokok lagi. Rambutnya berantakan. Ia berbalik melambai ke arahku dengan tangan kecilnya yang lemah. Ia memoles lipstik lebih tebal ke sekitar mulutnya, seperti anak kecil yang sedang makan es krim. Ia mengisap rokoknya lagi.
“Maaf, karena sudah mengatakan ini,” ujar pria itu. “Saya tahu ini adalah hal yang biasa dilakukan orang-orang, memberitahumu bahwa mereka juga pernah merasakan hal yang sama. Memberitahumu bahwa mereka juga pernah berduka—saya tahu ini tidak membuat kondisimu menjadi lebih baik sedikit pun. Maaf. Hanya itu yang bisa saya katakan.”
“Tak perlu minta maaf,” kataku.
Kami diam sesaat. Ia memegang pundakku, seolah-olah ia juga sedang menguatkan dirinya sendiri. Kami diam seperti itu untuk beberapa saat, dan air mataku jatuh. Tepat pada saat itu aku merasa aku masih memiliki hati.
“Ketika kecil, kami suka berlarian kesana kemari,” kataku. “Suaraku serak tapi masih terdengar. Kami meletakkan tangan di pinggang membentuk sabuk pengaman seakan-akan ibu sedang membawa kami pergi.”
Professor itu memelukku. Aku jatuh dalam peluknya. Baju biru gelapnya basah, air mataku tumpah. ***
.
.
Naskah ini merupakan terjemahan dari naskah asli berjudul Another Terrible Thing, karya penulis Amerika, Catherine Lacey. Cerita ini termuat dalam kumpulan cerita pendek Forty Stories by HarperCollins Publisher. Alih bahasa oleh Nurul Huda Ridhwani, mahasiswi jurusan Sastra Inggris, Universitas Andalas, kelahiran 1997. Gemar membaca novel sejak sekolah dasar. Kini sedang mengasah kemampuan di bidang menulis dan menerjemah.
.
Secangkir Kopi. Secangkir Kopi. Secangkir Kopi. Secangkir Kopi. Secangkir Kopi.
Leave a Reply