Lalu bayangan gaib itu datang. Berpakaian serba putih, bibir dan matanya berkibaran terbawa angin, dan berkata, “Kami sudah berkali-kali bilang padamu, ‘jangan kau pikirkan tiap daun yang gugur’?”
“Yang berguguran bukan lagi daun?”
“Tak ada beda.”
Baca juga: Hikayat Kota Kabut – Cerpen M. Arif Budiman (Radar Banyuwangi, 28 Oktober 2018)
“Sangat berbeda. Daun-daun gugur, lalu pergi terbawa angin. Hilang. Lenyap tanpa meninggalkan dendam? Tapi tidak demikian dengan manusia. Mereka akan menyimpan amarah—dendam, karena ada yang tersisa dari tiap percikan darah.”
“Percikan darah itu akan hilang juga diguyur hujan.”
“Yang hilang cuma warnanya, sedang rasa sakitnya akan melekat—mengental dan membuat kesumat.”
“Itu cuma pikiran terbius.”
Baca juga: Usia Usai – Cerpen Kunglhe Fhreya (Radar Banyuwangi, 21 Oktober 2018)
“Bukan cuma pikiran, bodoh!!!”
“Cuma pikiran!!!”
“Bukan!!!”
“Cuma pikiran!!!”
“Bukan!!!!!!!!!!”
Kami ngos-ngosan—nafas kami seakan ditarik, seperti karet. Lalu diulur kembali pelan-pelan. Ditarik lagi dan diulur lagi, sampai sepasang lutut kami terjatuh—bersama semua beban jatuh bersamaan.
Leave a Reply