A Warits Rovi, Cerpen, Tribun Jabar

Sinden Sunyi

0
(0)

Hanya burung-burung kecil berkejaran, menukik dan bertengger di ranting kemboja sembari menyisir bulu-bulu halusnya yang dijilat warna senja. Sejenak, setelah menoleh dan yakin tak ada orang-orang di sekitar lokasi pemakaman, Sinta mulai membiarkan tubuhnya bergerak-gerak sendiri, abaikan kekuatan yang menyusup pada setiap sendi dan organ tubuhnya, mengaruskan alir darah ke setiap urat yang sedikit menegang.

Jari-jemarinya lentik berpencar bagai rekahan bunga, berayun, ikuti lengannya yang bergerak halus dan pelan. Dadanya sedikit dibuat naik-turun, mengiringi gestur pinggulnya yang digoyang-goyang. Sepasang kakinya yang telanjang juga bergerak dan kadang bergeser, menapak dedaun kering dan hamparan rumput.

Sinta merasa dirinya sepenuhnya diam, tak bergerak sedikit pun, tapi tubuhnya terus bergoyang-goyang sendiri. Arwah—atau entah apa namanya yang meminjam tubuh Sinta—yang secara binal menggerak-gerakkan tubuh Sinta; menari-nari di samping kuburan ibu angkatnya.

Sekelopak kembang kering luruh menempel di jilbab dan di sebagian pakaian Sinta. Matahari berangsur lenyap dari balik pohon kesambi. Kesunyaan merayap, dingin menyergap. Sinta kian khusyuk dalam tariannya, seolah semua mata penghuni makam-makam sedang tertuju pada dirinya.

Saat menari khusyu, entah di alam apa, ia serasa bertemu dengan ibu angkatnya, Nyai Hawiya, yang sedang duduk di bawah pohon besar, dalam keadaan kedua lengannya diikat ke belakang. Sedang rambutnya awut dan wajahnya murung. Pipinya yang dulu selalu dipoles gincu kini mulai ditekuk belukar tulang. Ia menatap sedih wajah Sinta tanpa kata-kata, hanya menganga dengan sepasang bibir yang kemarau dan penuh garis-garis pecah. Sinta sangat bahagia karena bisa bertemu dengan ibunya.

Setelah hampir setengah jam, tubuh Sinta berhenti menari. Semua organ tubuhnya, yang sebelumnya bergerak-gerak, telah kembali ke semula; diam dan seperti beku. Sinta mengamati tubuhnya dengan tatap mata yang teliti mulai dari atas hingga ke mata kaki. Ia sedikit gemetar mengingat pertemuan gaibnya dengan sang ibu, tapi meski gemetar, pada akhirnya tetap bahagia, karena rindunya terobati.

Baca juga  Seperangkat Alat Teror

Minggu-minggu berikutnya, Sinta tak pernah absen mengaji dan menari di makam ibunya. Seperti sebelumnya, saat menari ia bertemu dengan sang ibu di alam entah, masih dalam keadaan yang sama dengan sebelumnya dan tak sepatah kata pun terlontar dari bibimya. Tapi kebahagiaan Sinta begitu buncah saat melihat sang ibu dalam tariannya. Sebab itulah, ia ingin selalu tiba waktu Kamis sore, ingin mengaji dan menari, memotong rindu yang perih.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!