Cerpen A. Warits Rovi (Tribun Jabar, 02 Desember 2018)
SINTA merasakan alir darahnya berarus lebih panas dan deras. Menyesak jalur urat dengan tekanan berlebih pada bagian yang berkerut. Rasupan tulang-tulangnya bergerak. Sendi-sendinya seperti saling menekan, hingga tubuhnya bergoyang-goyang. Dan ia tak bisa mengendalikan tubuhnya yang tiba-tiba menari.
Lengannya berayun pelan, seiring jemarinya tiru rekah kembang, meliut-liut bagai jemari perupa menatah pinggang patung. Kakinya dientak, memandu pinggulnya bergetar indah. Sedang sepasang bola matanya dalam kepungan bebulu halus hitam, terus melirik manja, turuti ke mana tangannya bergoyang.
Sebenamya Sinta tak suka menari. Berkali-kali ia coba untuk menghentikan apa yang terjadi pada tubuhnya. Tapi selalu gagal. Seperti ada kekuatan luar yang merasup dan membuatnya menari.
Tail ular betina, tari goyang kembang, tari merak manja, tari pucuk sesulur ubi, hingga tari-tari lain yang sama sekali tak pemah ia pelajari, semuanya seketika—secara ajaib—ia kuasai.
Lima belas menit kemudian, ia baru bisa mengendalikan gerakan tubuhnya. Tubuh yang telah dibalur hamparan peluh—yang sesekali diseka dengan ujung jilbabnya yang jingga. Lalu ia mematut di depan cermin, menatap wajahnya dengan raut yang muram, mata basahnya lama terpaku, seolah tengah menemukan keajaiban, bagai seekor kucing melihat bayangannya sendiri di tepi kolam.
Lantas Sinta meraba seluruh tubuhnya, bersamaan saat matanya berembun, tak kuasa menahan tangis. Ia sadar tubuh yang sedang teraba itu adalah tubuh masa lalu yang tumbuh dari jerih payah seorang sinden. Sejenak ia ingat bahwa dirinya jadi anak angkat Nyai Hawiya, seorang sinden tersohor di zamannya, yang mampu buat setiap lelaki bertekuk lutut di ujung penjhung-nya. Dari hasil menyinden itu ia dibesarkan oleh Nyai Hawiya.
Leave a Reply