Cerpen, Kompas, Lina PW

Akar Bahar Tiga Warna

Akar Bahar Tiga Warna - Cerpen Lina PW

Akar Bahar Tiga Warna ilustrasi Dyan Anggraeni/Kompas

4
(6)

Cerpen Lina PW (Kompas, 24 Januari 2021)

KETIKA menggulung selang di atas perahu, Naspin tak tahu pasti seberapa panjang ia harus mempersiapkan, karena tak kuasa menduga seberapa dalam akan menyelam. Ia mengingat-ingat petualangannya menyelam mencari apapun buat menyambung hidup: kerang raksasa, lobster, teripang, kerapu, hingga yang paling mahal dan sangat laris: akar bahar tiga warna.

Itu dulu, sekarang ia harus menyelam lagi demi kesembuhan Ibu.

Naspin tahu menyelam itu banyak tantangan dan berbahaya. Setahun lalu, sepupunya meninggal karena menyelam mencari teripang. Naspin bersama Ibu sempat merawatnya, mendatangkan pemijat kejang otot paling sakti, tapi tak tertolong juga. Sepupu itu meninggal tanpa sempat sadarkan diri. Sering terjadi penyelam dengan kompresor meninggal atau lumpuh.

Tapi Naspin tak peduli, ia ingin menjadi anak berbakti, memberikan akar bahar tiga warna penolak bala buat sang ibu yang sedang terbaring lemas karena demam.

Di Pulau Maratua tempat tinggal Naspin, orang percaya akar bahar tiga warna memiliki bermacam khasiat. Berbondong orang dari Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi memburunya buat azimat yang diyakini dapat menjauhkan segala marabahaya, juga terbebas dari sergapan virus korona.

Mereka mendatangi Pak Sikut, aparat yang bertugas di pulau terluar berbatasan dengan Filipina itu, untuk mendapatkan akar bahar merah, hitam dan putih. Laki-laki kurus ini menjadi perantara, menjual akar azimat dengan harga tiga kali lebih mahal. Sejak pandemi merebak, makin banyak orang luar pulau memesan lewat Pak Sikut, pastilah kian kaya dia.

Naspin menyampirkan gulungan selang di atas kompresor yang akan dipakai menyelam, di sebelah gergaji, dan kaca renang. Ia menghidupkan mesin dan meluncur di permukaan laut, sesekali perahu berdebam menghempas air kala bertemu gelombang. Tak sampai sejam, ia tiba di laut yang dinding koralnya terbentang hingga jauh ke dasar. Ia matikan mesin perahu, menghidupkan kompresor, memakai kaca renang, menggigit selang kompresor, memegang gergaji dengan satu tangan, dan byurr….

Ikan-ikan kecil sekitar karang tak peduli sesosok bayangan menghampiri mereka, ikan-ikan besar agak menghindar saat Naspin melayangkan tubuhnya menilik dinding koral lebih dekat. Di kedalaman 15 meter, tubuhnya berbelok saat dinding karang membentuk ujung tajam, menyebabkan ia harus menikung cepat. Arus bawah mulai kencang, ia mesti hati-hati agar tak terseret hanyut entah kemana.

Baca juga  Akibat Bergosip di Polindes

Ini hari ketiga Naspin mencari akar bahar putih, satu-satunya warna yang susah didapat. Ia sudah turun sangat dalam, belum dilihatnya ranting-ranting akar bahar putih.

“Makin susah kau dapat akar baharmu, makin berkhasiat, Pin!” ujar kakeknya saat Naspin kecil terpukau menemani sang kakek membentuk akar-akar menjadi gelang. “Kalau kau dapat akar di pantai, hanyut terbawa arus, atau yang nyasar di jaring nelayan, bah! Tak ada gunanya itu!”

Jadilah dua hari lalu ia berdoa agar akar putih ini susah didapat. Ia ingin gelangnya manjur agar dapat mengobati Ibu yang sudah sebulan terbaring demam. Musim pandemi seperti saat ini, ia takut Ibu terserang virus. Naspin membulatkan tekad membuat gelang tiga warna, setelah mendengar di kampung sebelah ada yang kena virus, keadaannya persis seperti Ibu, dipakaikan gelang, dan minum rebusan akar bahar tiga warna, kini bugar, tak perlu ke rumah sakit.

Cahaya makin temaram, Naspin makin jauh ke dalam laut. Akar putih itu belum ia temukan juga. Seekor penyu berenang melayang di bagian yang lebih dalam, tapi ia tetap menilik tembok koral, menemukan beberapa kumpulan akar hitam dan merah yang ia acuhkan. Terus-menerus dengan ketajaman penuh ia telisik permukaan dinding karang. Ia menoleh ke sebuah titik yang agak jauh, memicingkan mata.

“Oh… apakah itu… Ya, itu akar putih yang kucari! Kudapat juga kau!” pikirnya senang. Ia sentuh dengan gembira cabang-cabang berkhasiat itu, diambilnya ancang-ancang untuk menggergaji tangkai utama. Tak besar, tapi ia harus mengerahkan cukup banyak tenaga. Namanya memang akar bahar, tapi bukan tanaman, ini binatang karang berbentuk seperti cabang pohon atau akar.

“Ah, tebal juga,” gerutu Naspin, menggergaji hingga serpih terakhir akar. Ia lalu meluncur cepat ke permukaan, bayangan Ibu tersenyum lega penuh syukur menerima gelang akar terlintas. Sampai di permukaan, ia lemparkan akar dan gergaji ke perahu, menghidupkan mesin, meluncur pulang.

“Dalam juga tadi menyelam, sampai enam puluh meter,” pikir Naspin, sambil menggulung selang. Ia sangat gembira karena akar putih ini susah dicari, butuh waktu tiga hari, dan masing-masing memerlukan waktu lebih dari setengah hari.

Naspin bersiul, merasa sangat bangga karena tak lama lagi akan bisa menyembuhkan sang ibu. Ia memandang sayang akar bahar putih yang dijemurnya di lantai perahu. Sekilas ia merasa kakinya kesemutan, hanya sesaat, lalu hilang.

Baca juga  Kabar untuk Ibu

Di gudang tempat Naspin menyimpan segala peralatan memancing dan menukang, ia langsung membentuk akar putih yang baru didapat. Gelang ala tasbihnya dibuat bentuk bulat dengan tiga bulatan akar hitam, tiga merah, dan tiga putih. Harus sembilan karena orang pulau percaya ini angka paling besar, paling mujarab, buat menolak bala. Untuk mendapat hasil paling berkhasiat, semua warna harus berselang-seling. Ada yang karena kesulitan mendapat akar putih hanya memakai dua warna saja, hitam dan merah. Tapi, dari kakeknya Naspin tahu, kalau mau paten, ia harus mengikuti aturan kuno pulau: mesti tiga warna.

Ia puas pada hasil kerjanya, dan senang bisa selesai hari itu juga. Dielusnya bulatan-bulatan gelang itu dengan lega. Ia yakin ibunya akan sembuh berkat gelang penolak bala yang dibuatnya sendiri, dengan akar putih langka. Ia bangkit, menyiapkan makan malam Ibu.

Naspin masuk pelan ke kamar, membawa senampan nasi, ikan kuah, dan rebusan gelang akar bahar tiga warna. Ibu rebahan, bersandar di tempat tidur, tersenyum lemah.

“Bu… Ibu sudah bangun?”

“Sini, Pin. Banyak ikan tangkapanmu?”

“Saya tidak menangkap ikan tadi, Bu.” Ia sodorkan rebusan gelang di gelas, Ibu menyambutnya. “Saya tadi mencari akar bahar putih.” Naspin merogoh gelang di saku. Raut wajah Ibu mengeras.

“Untuk apa kau cari akar bahar?”

“Buat kesembuhan Ibu. Minumlah, Bu.”

Ibu meletakkan gelas, menggigit bibirnya, wajahnya semakin pucat.

“Minumlah biar sembuh, Bu. Itu nggo-nggo di kampung sebelah sakit seperti Ibu, minum air rebusan gelang dan sekarang sudah sehat.”

Ibu menggeleng kuat-kuat, Naspin menatap heran. Ibu terbatuk, napasnya putus-putus, bibirnya gemetar.

“Jangan beri ibumu harapan palsu, Nak! Ayahmu selalu memakai gelang dan minum air rebusannya, tapi tetap sakit juga!”

“Bapak selalu sehat, Bu. Bapak sakit apa?” setahu Naspin bapaknya selalu sehat dan bertenaga, tak pernah sakit. Kakeknya juga.

“Mana bapakmu sekarang? Mati kan dia?” Ibu tersedu.

Sepi menyesak dada tertahan di kamar itu. Anak-ibu itu termangu.

“Ayahmu sakit, Pin. Sesak napas, tiap malam minum rebusan gelang, dulu aku yakin betul gelang ini bisa melindungi kami dari demit dan sakit.”

“Tapi gelang-gelang ini, orang-orang yang sembuh di kampung sebelah?”

“Tidak ada buktinya di rumah ini, Pin! Ibu tak percaya!” Ibu meraih gelang di tangan Naspin. Gelang ini, akar ini, semuanya….”

Baca juga  Koko Tidak Sombong Lagi

Naspin berkeringat dingin, kakinya gemetar, nyeri naik dari telapak hingga paha. Perutnya mulai mengeras. Ia mengalami kejang otot pada lengan dan pinggul.

“Banyak yang cacat karena mencari akar sampai di dasar laut, padahal tak ada gunanya. Ibu tidak pernah memberitahu ayahmu sakit, karena tak mau kau kecewa. Kau selalu bangga dengan dongeng-dongeng dari kakekmu.”

Ibu tersedu, bergumam, lebih pada dirinya sendiri. “Makanya kubuang semua gelang-gelang itu saat bapakmu pergi.”

Naspin berniat berdiri, mencoba menghapus kecewa. Tiba-tiba ruangan itu ia rasa berputar, dinding-dinding seperti hendak runtuh ketika ia tak bisa lagi merasakan pinggangnya yang kian mengeras. Tubuhnya kaku. Samar-samar ia mendengar suara kaget ibu.

“Pinnn! Kenapa kau?” Ibu bangun menahan tubuh anaknya yang tersungkur.

“Kaki Bu… tak… bisa… rasa… kram…,” suara Naspin lemah, kian samar. Tangan kanannya berusaha menunjuk kaki, namun lunglai. Naspin tak sadarkan diri.

Ibu memeluk Naspin, napasnya tersengal-sengal.

“Jangan mati, Pin. Jangan…!” bayangan sepupu Naspin meninggal di kamar ini karena kram usai menyelam, berkelebat.

Ibu mencengkeram erat gelang tiga warna itu, matanya terpaku pada gelas berisi air rebusan akar bahar di atas nampan. Ia berteriak, menangis melolong-lolong. ***

.

.

Keterangan:

* Nggo-nggo = ibu-ibu

.

.

Lina PW lahir dan besar di Pulau Dewata. Pernah menjadi penulis lepas di beberapa media lokal dan kontributor perjalanan di sejumlah media nasional. Pengalamannya mengajar di daerah terpencil dan pulau terluar kerap menginspirasi kisah-kisah yang ditulisnya. Cerpennya Rumah Batu Kakek Songkok serta Ramin Tak Kunjung Pulang masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2017 dan 2019. Kini menetap di Denpasar, Bali.

Dyan Anggraini seniman yang tinggal di Yogyakarta. Lahir di Kediri, 2 Februari 1957. Menamatkan pendidikan Seni Rupa di STSRI ASRI Yogyakarta. Antara 1977-2020 tidak kurang dari 158 pameran bersama di beberapa kota di Indonesia dan beberapa di luar negara. Pameran Tunggalnya antara lain “Perempuan (di) Borobudur” di Galeri Nasional, Jakarta (2018); “Ambang/Threshold” di Sangkring Art Space, Yogyakarta (2013).

.
.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Dave

    Cerpen ini tampaknya sederhana, bisa digambarkan sebagai kisah tentang anak, Naspin yang bertujuan untuk menyelamatkan Ibu sendiri tetapi akibat upaya yang berbahaya itu dia sendiri mati. Tapi ceritanya jauh lebih kompleks karena pembaca dibawa ke dalam dunia Naspin sendiri yang rumit dan terdampak sejumlah kekuatan yang berkelindan termasuk hubungan keluarga, sistem kepercayaan, ekonomi, tak adanya keselamatan kerja dan kekurangan prasarana kesehatan di pulaunya. Sebagai anak berbakti pada Ibunya dan dengan ayah yang sudah meninggal dunia tertinggal dialah yang bertanggung jawab untuk menjaga Ibunya yang sakit demam (mungkin covid). Dengan sistem kepercayaan tradisional yang kuat yang diwariskan secara turun temurun tanggung jawab Naspin ialah melakukan suatu tugas yang berbahaya, menyelam dalam sekali untuk mencari akar bahar yang langka. Sepertinya Naspin tahu ada bahaya menyelam tapi pengetahuan tentang keselamatan kerja kurang sehingga waktu menyelam kedalamannya dan aspek keselamatan lain kurang diperhatikan. Di ekonomi lokal, akibat dampak covid, makin banyak orang luar mau membeli azimat itu sebagai sebuah penangkal bala covid yang berkhasiat sehingga harganya melejit dan tak terjangkau bagi orang lokal seperti Naspin, dan tersuratpun makin susah dicari. Dengan demikian ia terpaksa menyelam sampai kedalaman yang membahayakan (yang berkelindan dengan kepercayaan tradisional kalau akar bahar semakin susah dicari semakin manjurnya). Di pulau terpencil itu tak ada sarana kesehatan yang bisa merawat penyelam yang menjadi sakit otot kejang dan hanya bisa dirawat dengan cara tradisional, pijatan dari pemijat yang sakti. Di akhir cerita ada tragedi berat bagi ibunya yang tahu anaknya mati konyol, dia sudah tahu akar bahar itu tidak manjur karena dulu azimat itu tidak mampu menyelamatkan suami diri sendiri.

  2. lutfiboi

    Jahat ibunya. Kasian Naspin, sudah berhari-hari nyari akar bahar putih, ehh, harus menerima kenyataan kalau ibunya tidak percaya gitu-gituan. Kenapa ibunya ga bilang dari awal. “Pin, kamu gak usah cari akar bahar. Ibu gak percaya.”

Leave a Reply

error: Content is protected !!