“Ini sambil cerita, ya!” Bapak pemilik lepau berujar seolah meminta izin. “Sekitar satu minggu yang lalu, beberapa dukuh di Tanjungrejo setiap harinya ada yang meninggal. Dan kalian tahu kenapa banyak orang meninggal?” tanyanya dengan nada penceramah interaktif.
“Apa, Pak?” tanyaku seketika.
“Konon, sebelum ada orang meninggal, pasti si burung siak mengitari rumahnya, atau terkadang hinggap di pohon dekat rumah.” Dia menghentikan ceritanya sejenak untuk menyulut rokok.
Aku semakin penasaran dengan lanjutan ceritanya. Mitos tentang burung siak, atau burung elang malam sebagai burung pengundang kematian sudah sejak dulu aku dengar. Namun, korbannya tak sebanyak yang barusan diceritakan.
“Meski orang itu sebelumnya sakit-sakitan, tapi sebelum ia meninggal, pasti burung siak muncul di rumahnya. Berdasarkan berita yang saya tahu, sudah ada tujuh orang meninggal sampai hari ini,” lanjutnya.
“Kok bisa sebanyak itu, ya, Pak?” tanyaku merinding.
“Iya, saya juga enggak tahu, Mas,” jawabnya singkat.
“Iya, Mas! Memang sampai sekarang ketakutan warga masih ada kalau burung siak datang lagi.” Remaja itu ikut menguatkan cerita.
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian terdiam. Mereka pun ikut diam.
***
Kulihat jam di ponselku yang menunjukkan pukul sembilan. Tak terasa, aku di sini sudah satu jam. Sedangkan hujan masih belum berhenti. Masih ada gerimis yang menitik cukup deras.
“Ada colokan listrik, Pak? Baterai ponsel saya mau habis,” tanyaku kepada bapak pemilik lepau yang duduk selonjor.
“Wah, enggak ada, Mas.”
“Ya sudah, Pak. Kalau begitu saya ijin pamit. Ini kopi panas dan mi rebusnya berapa?”
Bapak itu bangkit dari tempat duduk. Jari-jarinya untuk menghitung pesananku.
“Totalnya tujuh ribu, Mas.”
Jawab bapak itu sembari memperlihatkan jari-jari hasil hitungannya. Remaja yang duduk di sampingku tertawa. Aku memberikan uang sambil menahan-nahan gelak tawa.
Leave a Reply