Cerpen Syah Rifqi (Radar Banyuwangi, 03 Februari 2019)
SEPANJANG perjalanan pulang dari pasar malam,banyak mobil yang terparkir rapi di depan Padepokan Mandrawata. Padahal selama ini tak pernah ada berbagai macam mobil yang menghias tempat ini. Pikiran yang rapi dengan segala ketenangannya, tiba-tiba membuyarkan emuanya termasuk merombang-rambing sekantong penasaran. Perlahan aku mengintip di balik jendela meski takut ada satpam yang tiba-tiba muncul untuk mengusir.
Mata ini semakin tajam meneropong bersama angin yang memagut tubuh—gigil dan gemetar—hingga mata susah untuk berkedip. Sepertinya mereka mengadakan rapat yang penuh konsentrasi namun terkadang mereka tertawa terbahak-bahak. Entah ini rapat atau lingkar sandiwara yang penuh kelucuan. Atau jangan-jangan aku berada di dunia fantasi, dunia yang menjadikan mata terperangkap pada khayalan.
Jantung waktu tak berhenti berdetak. Kegelapan memaksa mengajak untuk bercumbu dengan waktu. Setiap detik semakin gelap gulita, di langit juga tidak terlihat bulan dan bintang, hanya penasaran yang menggeragau pikiran. Aku mencoba berusaha mendengarkan percakapan mereka, namun masih saja tidak jelas. Hingga aku ikut berkecimpung memusatkan pikiran, mencoba konsentrasi dan serius, sama persis seperti mereka.
“Aih, mengapa jadi begini?” kataku seperti terhipnotis oleh ruang dan waktu.
Malam ini tak lagi sama, betapa mata dan telinga pun tak mampu diajak berkompromi. Suara percakapan mereka teredam oleh kejauhan, yang ada di sini hanya suara jangkrik meraba malam dan suara kodok sepertinya asyik mengaji dengan tajwid dan makhorijul hurufnya yang khas. Keseriusanku remuk ditemani suara itu, lalu perlahan berhenti, hening seketika. Sunyi dan gelap membuat mata tak kuat menahan kantuk. Namun pada saat itu terdengar suara yang menggegarkan jendela malam sehingga telinga mampu menyerap suara itu.
“Gusur saja!” kata mereka yang memecahkan semangkok sunyi.
“Gusur?” tanyaku pada puncak malam.
Leave a Reply