Wajah kakumu bertolak belakang dengan ucapan puitismu. Wajah yang walaupun tersenyum atau lebih tepatnya merentangkan urat bibirmu, tetap tidak kelihatan sebagai senyuman. Itu hanya sebuah tarikan bibir, tanpa remah-remah ketulusan.
Dulu kau jauh dari kata melankolis. Sungguh ini bukanlah kebohongan. Lantas suatu senja, dia—perempuan dengan dekik curam di kedua pipinya—datang. Bukan, dia tidak menemuimu. Dia hanya datang kala senja dan pergi setelah senja hilang. Parahnya lagi, dia hanya duduk diam di bangku panjang di belakang pos penjaga jalan lintasan kereta api, tempatmu bekerja. Tatapannya hanya fokus pada satu hal. Pada senja yang mengudara.
Kau tak tahu kapan pastinya dia datang. Hari Senin kah? Hari Minggu kah? Kau tidak dapat memastikannya. Kau hanya tahu, dia datang ketika senja. Menurutmu, dia perempuan yang cantik. Dekik di kedua pipinya menggemaskan. Ketika dia tersenyum, manisnya mengalahkan madu murni yang baru dipanen dari sarang lebah. Sinarnya lebih menyilaukan daripada senja. Perempuan macam dia, mungkin hanya ada di cerita fiksi.
Kau dengan dia adalah dua kutub magnet yang berbeda. Barangkali itu yang membuat kalian tertarik satu sama lain. Tidak, menurutmu, hanya kau yang tertarik padanya. Perempuan semenawan dia, tak mungkin menyukai lelaki kesepian yang kaku.
Sejak kehadirannya di belakangmu, kau diam-diam mencuri pandang padanya. Tingkahmu begitu menggelikan. Setiap kau ingin melihat wajah senjanya, kau bergerak aneh. Kadang kau berdiri tegak seolah mengawasi jalannya lalu lintas di depanmu, tetapi setiap 10 detik, kau akan menengok ke belakang. Kadang juga kau pura-pura bersin, padahal kau mengawasinya, dan sederet tingkah unik yang kau lakukan.
Entah kau mendapat ide dari mana, kau menaruh cermin berukuran sedang di sampingmu sewaktu bekerja. Cermin ini diletakkan di posisi yang tepat agar bisa melihat pantulan dirinya. Sungguh ide yang gemilang. Kau tak perlu lagi bertingkah aneh. Sambil bekerja, kau setiap saat bisa melihat wajah dan dekik curam manisnya.
Ketika kau kebagian shif kerja pagi hari, kau tidak langsung pulang. Dulu kau akan mengeluh lelah dan berkata akan tidur setelah sampai di rumah, tetapi kini kau malah duduk di bangku itu selama berjam-jam. Menunggu senja datang. Terutama dia. Kau sangat gugup hanya melihat dirinya dari kejauhan. Dia menuju ke tempat ini dengan berjalan kaki. Kegugupanmu terang adanya di wajahmu. Wajah kakumu sungguh menggelikan.
Kau tidak tahu caranya untuk membuka pembicaraan dengan perempuan dewasa. Lantas kau hanya diam ketika dia duduk di sampingmu. Kau diam dan dia juga. Dia seakan tidak merasa terganggu. Matamu bergerak ke sana ke mari. Kau pasti ingin mengajaknya mengobrol, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutmu sampai senja hilang. Dia pun pergi. Kau menyesali sikap pengecutmu.
Leave a Reply