“Inilah satu-satunya barang berhargaku. Jadi sebaiknya kau berkenan menukar gadismu dengan cincin ini.” Ucap pak tua dengan tenang. Dia menambahkan, Dengar! Hanya di tempat seperti ini kau bisa melihat cincin indah ini, dan itu pun karena kau sedang beruntung. Dan sekarang kamu berkesempatan memilikinya.”
“Tukar saja aku dengan cincin itu. Dengan begitu kau bisa menyaingi majikanmu, bahkan melampauinya”. Ujar si perempuan ringkih yang ternyata dia sudah siuman.
Menyadari si perempuan sudah sadar buru-buru si Albino menurunkannya. Karena masih lelah atau apa, jadi si perempuan meminta untuk ditidurkan saja.
“Bagaimana anak muda?” Desak pak tua.
“Baiklah pak tua, sekarang dia jadi milikmu.”
Dia menerima cincin tersebut dari tangan pak tua. Di dalam genggaman tangannya dia merasa cincin tersebut terasa dingin. Tangannya bergetar, dia membayangkan bagaimana nasib hidup selanjutnya setelah cincin ini ada padanya. Dia membayangkannya terlalu bersemangat, sampai-sampai dia lupa bahwa sebenarnya masih banyak hal yang harus ia lakukan.
“Kalau begitu, saya pergi dulu. Buatlah hidupmu nyaman, Pak Tua,” dia tinggal dengan tidak meninggalkan apa-apa kepada si perempuan ringkih.
“Bagaimana keadaanmu, Tuan Putri? Tanya pak tua kepada perempuan ringkih itu. Sudah lama aku mencarimu ke mana-mana dan akhirnya kutemukan engkau.”
“Iya, paman. Aku belajar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada rakyat-rakyat ayahku. Pikiranku kosong, Paman. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana lagi. Rakyat-rakyat ayahku sudah berperilaku di luar batas, mereka berani dan sudah biasa mengadakan perdagangan barter. Bahkan, sama sekali mereka tak pernah merasa bahwa perbuatannya menyakiti perasaaan yang lainnya.”
Pak tua itu ikut tiduran juga. Mencoba merasakan apa yang si perempuan ringkih rasakan. Hingga akhirnya mereka berdua terlelap tidur.
Sampai sekarang tempat tersebut masih di cari-cari oleh para antek kerajaan. Si tuan putri sudah cantik dan tidak ringkih lagi. Dan sepasang kekasih tadi sudah dijerumuskan ke dalam sel tahanan karena ketahuan melakukan perdagangan manusia di tepi sungai. Yang menjadi pertanyaan sekarang, di mana si Albino berada?
Ali Faris, nama asli dari Anakna Eppak, lahir di Madura. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Belajar di UIN Sunan Kalijaga.
Leave a Reply