Cerpen Rai Sadajiwa (Tribun Jabar, 27 Januari 2019)
SORE sebelum Maryam berencana untuk terjun bebas dari apartemennya di lantai 23, seorang pria telah mendatanginya. Saya penjual obat keliling, kata orang itu. Mulanya Maryam merasa enggan menerima tamu semacam sales barang atau penjual obat obatan. Tapi kemudian ia berpikir ingin sedikit berbagi uang sebelum ia nanti terjun bebas mengakhiri hidupnya.
Saya tidak perlu uang, Nyonya, ujar si penjual obat keliling dengan begitu meyakinkan. Maryam mengernyitkan dahinya agak lama. Lalu untuk apa kamu mengetuk pintu apartemen saya?
Si penjual obat keliling lantas mengeluarkan obat obatan yang ada dalam koper hitam beraksen putih itu. Satu demi satu ia tata di atas lantai sambil mulutnya tak henti berbicara, menjelaskan keunggulan-keunggulan obat yang konon sebagai racikannya sendiri. Pada obat yang kesekian—sebuah pil merah hati dibungkus plastik obat—Maryam entah begitu saja merasa tertarik. Tidak ada salahnya mendengarkan celotehan si penjual obat keliling, setidaknya bisa sedikit menghibur kesedihannya. Meski ia merasa bahwa si penjual obat keliling sama saja reputasinya dengan penulis fiksi, tukang bual.
“Pasti Nyonya tidak akan menduga. Pil ini bisa menyembuhkan kesedihan, luka, perih, atau patah hati sekalipun. Saya menamakan pil ini sebagai pil kebahagiaan. Nyonya cukup meminum satu butir saja, kebahagiaan akan berkobar-kobar di dada, merambat bersama darah yang mengalir, menghasut pikiran dan perasaan. Hidup Nyonya bakal selamanya dirundung kebahagiaan.”
Sekian jam waktu yang dihabiskan si penjual obat keliling itu untuk menjelaskan keunggulan-keunggulan obat yang dibawanya di hadapan Maryam. Setelah itu ia pergi entah ke mana. Maryam terus lekat memandangi pil merah hati itu, yang kini sudah berada di tangan kanannya. Apa iya sebuah pil bisa memberikan rasa bahagia dan menghapus kesedihan? Jangan jangan ini obat penenang sementara yang sering dijual bebas di luar sana? Semacam narkoba atau obat tidur?
Leave a Reply