Cerpen Jemmy Piran (Koran Tempo, 16-17 Februari 2019)

Pemanggil Kematian ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
Sejak awal saya sudah tahu, ia bukan manusia biasa. Ia pasti datang dari suatu tempat yang, barangkali, haus akan darah. Dugaan awal saya, ia pasti jelmaan dari seekor gurita. Saya sering mendapati matanya menatap saya, seakan-akan ingin mengatakan, saya pantas mendapat hukuman. Keyakinan saya kian bertambah manakala, suatu hari, ia menatap saya sambil merapalkan sesuatu. Seperti doa, tapi saya tidak terlalu yakin sebab ritmenya lebih cepat dari doa yang sering didaraskan selama ini. Bibirnya terlihat komat-kamit, dan tidak lama setelah itu saya melihat lingkaran matanya berubah memipih, horizontal. Seperti mata seekor gurita. Lagi pula, setiap kegiatan kampung, ia menarik diri dan berusaha menjauh dari keramaian. Sikapnya tidak jauh berbeda dengan sifat soliter seekor gurita, penyendiri. Sebab kelalaian kami atas harapan-harapannya, kini, ia mengikat saya di sini entah sampai kapan.
Suatu hari ia datang ke kampung kami ketika warga dilanda putus asa. Ketika itu, laut masih saja bergelora, ombak tanpa henti mengirimkan amarahnya ke pantai. Tidak seorang warga berani turun ke laut. Nyali kami sebagai pelaut ulung menciut bersama datang dan perginya ombak yang mendebum. Padahal nenek moyang kami adalah pelaut-pelaut yang tidak pernah mengenal musim. Tidak takut pada kematian. Buntung dan puntung itu hal biasa, sebab laut adalah lahan utama, tempat di mana setiap tetes keringat menjadi bulir-bulir padi.
Ia datang dengan semangat membara. Kepada kami, ia memperkenalkan diri sebagai seorang yang peduli pada laut. Katanya lebih lanjut, ia berasal dari kota dan ingin tinggal di kampung kami, mengajarkan kepada kami bagaimana menangkap ikan yang baik dan menjaga laut agar tetap berlimpah. Ia peduli bahkan katanya berulang-ulang bahwa ia sangat mencintai laut. Hidupnya ingin ia abdikan sepenuhnya kepada laut.
Mulanya kami menganggap perkataannya hanya sebagai lelucon sebab ia perempuan. Bagaimana seorang perempuan bisa berhadapan dengan tangguh dan ganasnya laut. Kami para lelaki hanya menggeleng dan para wanita mencibir. Tapi, setelah perkataannya terbukti pada hari ketiga, kami terbungkam dan lebih jauh, kagum. Seperti katanya, begitu pagi merekah, laut begitu tenang, tiada riak sama sekali. Saat matahari mengintip pada tubir bukit di seberang pulau, ikan-ikan naik ke permukaan. Laut membuih bertanda ikan mengambang di permukaan. Pada hari itu, kami semua berlomba-lomba menangkap ikan.
Leave a Reply