Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 16 Januari 2011)
“AKHIR tahun membawa banyak hal yang sama. Misalnya harapan bahwa tahun mendatang akan lebih baik. Tapi biasanya, setelah datang, ternyata juga sama. Tak ada perubahan. Kemajuan hanya harapan. Hanya perasaan-perasaan kita yang berubah. Barangkali memang di situ peluangnya.”
Aku terkejut. Aku menoleh kanan daan kiri. Siapa yang sudah mengatakan itu. Ternyata tidak ada orang. Itu pikiran-pikiranku sendiri setelah merenungi berbagai kejadian yang sudah lewat. Setelah puluhan tahun bergulir, tapi nasibku tidak bergerak. Aku merasa seperti dipaku ke atas dinding beton.
Dengan muka kuyu kutatap isi rumah. Dinding yang itu-itu saja. Meja yang kemarin. Foto-foto semuanya sama. Tak ada yang berubah. Barangkali hanya cicak dan tokek yang silih berganti karena mati. Lainnya seperti abadi. Sehingga timbul pertanyaan. Apakah tahun benar-benar berganti atau hanya berulang kembali.
Wajahku melusuh di meja makan. Istriku jadi khawatir.
“Pusing, Pak?”
Aku mengangguk.
“Mau dipijit?”
“Ini bukan masuk angin tapi pikiran kacau.”
Istriku manggut-manggut.
“Kalau begitu jalan-jalanlah keluar rumah, tenangkan pikiran.”
Aku setuju. Setelah ganti pakaian, aku keluar rumah. Tapi setelah sampai di jalan, aku bingung, tak tahu mau ke mana. Waktu itu muncul Pak Manuel yang hendak pergi ke gereja.
“Mau ke gereja, Pak Manuel?”
“Betul, Pak. Bapak sendiri mau ke mana?”
Aku menjawab malu.
“Tidak ke mana-mana, mau makan angin saja, menghilangkan perasaan sumpek.”
“Kalau sumpek jangan makan angin, nanti tambah pusing.”
Aku ketawa.
“Saya cuma tak habis pikir, Pak Manuel, kok tidak ada yang berubah. Tiap tahun kita ingin ada perbaikan, tapi akhirnya selalu kecewa. Ternyata tidak ada masa depan. Kita seperti naik mobil yang bannya kejeblos. Tambah digas, roda muter makin kencang tapi tetap di situ-situ juga. Sama sekali tak bergerak. Hidup ini seperti macet. Ya kan, Pak Manuel?”
Manuel manggut-manggut.
“Begini, Pak, kalau Bapak sedang naik mobil yang kejeblos, sebenarnya Bapak tidak berjalan di tempat, tapi Bapak sedang masuk ke dalam tanah lebih dalam, sampai dapat pijakan yang cukup kuat untuk mendorong mobil keluar dari lumpur. Bapak mungkin terlambat, tapi bukan tidak ada gunanya. Sebab kalau tidak kejeblos lumpur, siapa tahu, mungkin, mobil Bapak yang ditabrak truk yang nyelonong hambruk karena keberatan muatannya itu. Bersyukurlah! Bapak sebenarnya sedang diselamatkan!”
Aku tersenyum, tapi jadi berpikir.
“Pak Manuel!”
Tapi Manuel tidak menunggu. Lelaki yang aktif di gerejanya itu sudah sampai ke tikungan dan berbelok tanpa menoleh. Aku jadi merinding.
“Apa itu benar-benar Pak Manuel atau hanya pikiranku yang kacau?”
Cepat aku berbalik pulang, batal cari angin. Aku langsung menghampiri istriku yang sedang menata makan malam.
“Sudah makan angin, Pak?”
“Nggak jadi….”
“Kenapa?”
Lantas kuceritakan pertemuanku dengan Pak Manuel.
“Pak Manuel?”
“Ya.”
“Bukannya Pak Manuel sudah kembali ke Flores tahun lalu?”
Aku terperanjat.
“Masak?”
“Ya, sudah kembali ke Flores. Kecuali kalau dia sudah datang lagi!”
Aku jadi penasaran. Cepat aku keluar rumah lagi, ngecek ke rumah Pak Manuel. Di depan rumahnya aku disapa.
“Bapak ke gereja, Pak.”
Aku menoleh. Itu Yozef anak bungsu Manuel.
“He, kamu sudah kembali? Katanya sudah pindah ke Flores.”
“Sudah kembali lagi, Pak.”
“Kapan?”
“Baru tadi.”
Aku bengong. Kutatap anak itu.
“Kamu sudah besar sekarang.”
“Ya, Pak. Saya mau cepat-cepat mau masuk tentara.”
“Ya? Kenapa?”
“Mau memperbaiki dunia!”
Aku bengong. Kembali kuplototi anak itu tajam. Sekarang aku yakin bahwa semua itu tidak nyata. Itu bagian dari pikiranku yang kacau.
“Setuju kan, Pak?!”
Aku menggeleng.
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Karena bukan senjata yang bisa mengubah dunia ini.”
“Terus apa?”
“Perasaan. Perasaan kita. Semua boleh tidak berubah. Semua boleh sama. Tapi kalau perasaan kita berubah, semua yang sama itu dengan sendirinya akan ikut berubah. Hanya perasaan kita yang mampu mengubah semuanya ini. Perasaan kita. Dan hanya kita sendiri. Bukan senjata!”
Yozef tak menjawab, aku cepat berbalik pulang. Sampai di rumah, baru aku merasa perasaanku menjadi terang. Tak perlu ada lampu. Kalau perasaan terang, segalanya akan terang.
Aku masuk ke dalam rumah dengan pikiran yang sama sekali berubah.
Sampai di dalam rumah, aku menoleh ke sekeliling. Dinding, meja, potret-potret di atas tembok tidak ada yang sama. Semuanya terasa baru. Lalu aku cium bau gorengan tempe yang masih mengebulkan asap di atas meja. Itu bukan tempe yang bertahun-tahun lalu aku kunyah, itu tempe baru. Dan ketika kemudian aku mengunyahnya satu, kurasakan kenikmatan yang belum pernah kukecap sebelumnya.
“Tak ada yang benar-benar sama. Semuanya berubah, kalau pikiran kita sehat. Tempe ini bukan tempe yang kemaren, tapi tempe baru yang belum pernah aku rasakan. Karena perasaanku mengubahnya. Nikmat sekali!” kataku sambil mencomot lagi dua potong tempe sekaligus.
Istriku memandang takjub.
“Dari tadi pagi Bapak diam-diam saja kalau diajak ngomong. Tiba-tiba saja sekarang ngoceh ngomong yang aneh-aneh. Salah! Itu bukan tempe. Itu kan krupuk udang, tahu!”
Aku terkejut. Kutatap baik-baik apa yang sedang aku makan. Memang itu bukan tempe, tapi kerupuk udang. Tapi itu tidak mengurangi kenikmatannya. Ya. Ternyata apa yang kupikirkan seharian di akhir tahun ini, terjawab. Yang terpenting dari segalanya adalah perasaan.
Lalu aku mengangguk.
“Betul! Tapi selama kita masih punya perasaan, hidup ini akan berubah!”
Istriku tak menjawab. Ia menganggap tidak mendengar apa-apa.
Malam hari setelah semua orang tidur, kulihat seakan tahun 2010 sedang menanggalkan pakaian kerjanya untuk diserahkan pada 2011. Aku cepat bersimpuh dalam pikiranku lalu berdoa.
“Ya, Tuhan, apa yang sedang terjadi dengan negeri ini? Apa yang harus kami lakukan untuk membuat negeri, bangsa dan rakyat yang usianya jalan 66 tahun ini dewasa. Percaya pada diri, mampu mempergunakan seluruh kekayaannya untuk kebahagiaan seluruh warga, serta dihormati oleh bangsa dan negara-negara lain, bukan karena takut, tapi karena cinta?”
“Aku tidak minta apa-apa kepada-Mu ya Tuhan, aku hanya mencari titik pandang, tempat aku mendengar kembali suaraku ini. Karena perhatian-Mu sudah lebih dari cukup. Adalah kami yang menjadi pangkal, sebab dan seluruh nasib kami ini. Adalah kami yang harus tidak hanya berpikir, merasa dan berharap tok, tetapi harus segera berbuat untuk memilkul dan mengubah segala yang kurang pantas ini, sampai terjadi apa yang kami mimpikan.”
“Tetapi apa sebenarnya yang kami mimpikan? Apakah mimpiku, harapanku sama dengan yang ditumbuhkan 220 juta batok kepala orang lain di sekitarku?”
Esoknya aku merencanakan akan bertanya pada siapa saja yang kutemui. Apa sebenarnya yang menjadi impian mereka. Jangan-jangan mimpi itu tidak sama, tapi berbeda, bahkan bertentangan. Dan itulah yang menjadi pangkal semua keruwetan ini.
“Kalau Bapak tanya Ibu,” jawab istriku yang pertama kali kujadikan sasaran, “aku hanya ingin supaya kita semua selamat. Kurang lebih itu biasa, namanya juga hidup. Asal kita jangan hanya saling menyalahkan dan merasa lebih tahu padahal yang paling tahu itu adalah orang lain yang selalu kita tentang karena partainya lain.”
Aku tertawa. Aku heran sejak kapan istriku itu jadi suka politik. Kemudian kucecer anakku. Sebagaimana biasa anak muda, dia menjawab acuh, gagah, dan pongah.
“Sebenarnya semua ini adalah proses panjang dalam menyadarkan kita bahwa kita tidak lagi dijajah. Kita sudah merdeka. Tetapi di dalam kemerdekaan, kita belum siap untuk tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Bahkan kita kaget, karena apa yang kita miliki sebelum merdeka, ternyata kini sudah tidak ada. Misalnya tidak ada yang benar-benar mengurus kita. Semua orang berlomba mengurus dirinya sendiri. Kita sedang dalam belajar merdeka. Seperti kata professor Ben Anderson, bayak orang menganggap merdeka itu adalah saat untuk membagi kue warisan. Akibatnya yang terjadi sekarang setelah lepas dari penjajahan adalah bentrokan antara kita dengan kita, karena semua ingin mendapat kue warisan yang lebih banyak. Harusnya bukan nafsu membagi warisan, tapi nafsu memberi yang dihidupkan. Seperti kata Kennedy, pertanyaannya bukan apa yang bisa diberikan negara kepadamu, tetapi apa yang bisa kamu berikan kepada negara!”
Jawaban itu mempesonaku. Aku lebih bersemangat lagi untuk mendengar pendapat orang lain. Tapi ketika mau melangkah ke tetangga, anakku mencegah.
“Jangan cuma mendengar pendapat orang. Pendapat Bapak sendiri bagaimana?”
Aku senyum.
“Pendapatku tidak penting.”
“Penting! Jangan nanti baru berendapat setelah mendengar pendapat orang lain. Itu namanya nyontek. Atau Bapak tidak punya pendapat? Mau seperti bunglon?”
“Lho jangan sembarangan. Bapak punya pendapat.”
“Ya apa?!”
Aku jadi mikir.
“Tapi pendapat pribadi Bapak yang sejujur-jujurnya!”
“Lho memang itu tujuannya bapak bertanya-tanya.”
“Jangan cuma bilang ingin ada persatuan, kesadaran kebangsaan, keadilan, kebenaran, keselarasan, kepemimpinan yang transparan, hukum yang hidup dan berjalan, peradilan yang berwibawa, demokrasi dan sebagainya dan sebagainya. Itu sudah klise. Sudah banyak dikatakan orang. Bahkan juga sudah diulang-ulang oleh para ahli-ahli. Saya mau tahu apa keinginan Bapak sejujurnya sebagai warga negara. Jangan takut. Tidak ada yang mendengar dan tidak akan dihukum kalau hanya mengatakan kejujuran. Tapi katakan atas nama sumpah!”
Aku terkejut.
“Kenapa pakai sumpah?”
“Harus! Sebab ini soal kejujuran. Sumpah! Bapak mau apa?”
Aku bengong.
“Jangan berpikir. Sebab kalau Bapak berpikir, artinya Bapak mau cari selamat saja. Katakan saja sejujurnya. Nggak ada orang lain di sini!”
Kemudian istriku muncul.
“Hanya ada Ibu. Tapi Ibu kan bukan orang lain. Katakan saja terus terang. Bapak inginnya apa? Bagaimana?”
Aku menoleh pada istriku.
“Anakmu ini sudah gila. Masak aku disuruh bersumpah untuk mengatakan aku ingin apa?”
Ternyata istriku mendukung anaknya.
“Lho, Bapak kan sudah nanyain kami, kenapa mengelak kalau ditanyain? Ibu juga mau dengar apa jawaban Bapak.”
Aku terpaksa ketawa.
“Boleh ketawa. Tapi ini sumpah! Harus sejujurnya!”
“Apa, Pak?”
Aku menarik napas panjang.
“Aku ingin kita….”
“Ingat sumpah, Pak!”
Aku tertegun. Lalu bicara dengan hati-hati.
“Aku berharap negeri kita ini….”
“Awas, ini sumpah!”
Aku hampir saja marah, merasa dipermainkan. Aku ini kepala keluarga, kok didikte oleh anggota keluarga? Tapi tak ada senyum sinis yang biasa ngintip di sudut bibir anakku. Ia serius. Istriku juga sama. Aku jadi terdakwa.
Waktu itu muncul perasaan aneh. Seakan untuk pertama kalinya setelah setengah abad aku memandangi wajah anak dan istriku. Kulihat apa yang tak pernah kulihat. Entah bagaimana kudapatkan kacamata yang sama sekali lain. Lalu kutemukan apa yang tak pernah dan tak ingin kulihat. Apa yang selalu kulewati dan lupakan. Apa yang selalu kuhindari dan aku tunda.
Tiba-tiba saja aku menemukan uban terserak di kepala istriku. Kerutan di leher dan di sudut matanya. Wajahnya yang polos tapi tertikam. Di balik kepolosan itu tertekan berbagai keinginan yang tak terkabul. Alangkah rentan kulit pipi yang dulu merah itu. Kini ia kusut dan tak mampu lagi menutupi apa yang menjadi kekecewaan dan hasratnya yang tak terpenuhi.
Sementara anakku yang belum mandi, karena sedang membersihkan kamar-kamar, terasa kampungan. Jauh sekali dari wajah-wajah cantik di layar sinetron Indonesia. Berbeda dengan gadis-gadis generasi baru Indonesia yang sempurna gizi. Walau tubuhnya berisi dan semampai, tetapi tidak ada kebebasan dan keceriaan di matanya. Belum menikah, ia seperti sudah mendapat beban memikul dunia. Itu bukan generasi baru yang bebas, tetapi anak muda cacat yang digondeli berbagai kesulitan yang sebenarnya bukan tanggungannya.
Mendadak aku menjadi sedih dan kejeblos. Aku ingin menghapus semua itu. Membebaskan keluargaku dari ketaklukan pada nasib buruk. Menyulap rumahku yang berdebu, kumuh, yang bagaikan gudang kotor yang tak selayaknya bagi seorang warga negara di negara yang sudah merdeka dan kaya lagi.
Mendadak aku ingin memiliki rumah yang tak hanya tempat pulang, tapi sebuah istana bagi orang yang menang. Kenapa aku tidak ikut mengenyam keuntungan jalan raya dengan memacu mobil mewah di atasnya? Aku ingin tak hanya memandang hotel dan gemerlapan gaya hidup di real estate mewah, tapi juga ikut mengecap dan memilikinya. Aku tak mau hanya mengibarkan bendera tanda merdeka, tetapi ikut berkibar.
Sambil mengeruk isi dada, lalu aku merasa perutku mual. Karena tak berhasil menahannya lagi, lalu begitu saja aku muntah.
“Aku ingin menjadi konglomerat. Orang yang berkuasa dan ditakuti. Aku ingin menjadi wakil rakyat, semua dapat semua prioritasnya. Jangan hanya bintang film, artis, dan pelawak-pelawak itu saja yang menikmati gaji 40 jutaan sebulan. Aku ingin menjadi pejabat, bupati, walikota, gubernur, menteri, duta besar dan juga presiden. Aku ingin punya bukit, tambang, dan mega proyek. Aku ingin membahagiakan anak cucuku sampai tujuh turunan. Aku ingin sukses, unggul, berkuasa, dan lebih dalam segala hal dari orang lain yang kalah. Aku ingin lebih merdeka, lebih bebas, lebih nyaman, dan lebih berkuasa dari orang lain. Aku ingin bebas dari segala kesulitan dan beban batin karena aku sudah merdeka. Aku ingin, ingin apa saja yang belum kumiliki. Aku ingin segala yang tak ada….”
Tiba-tiba istriku menghapus air matanya. Tapi tetes yang berjatuhan di pipinya tidak terbendung. Ia pun mengisak. Anakku memalingkan mukanya seperti tak tega melihat itu. Lalu ia menjauh.
Sementara aku tak berhasil berhenti. Mulutku terus bicara.
“Aku ingin anak dan istriku tidak pernah lagi menangis dan selalu bangga kepadaku. Karena aku kepala rumah tangga yang sejati. Aku ingin menjadi pahlawan dalam hidup meraka yang tidak tergantikan. Dan karena aku tak mampu mendapatkan semua itu, maka aku ingin, memimpikan semua itu siang malam. Padahal apa yang kurang? Aku sudah berusaha sekuat tenagaku. Aku sudah berjuang, tidak pernah berhenti sedetik pun. Tapi ternyata yang kudapat tidak satu persen pun dari harapanku. Aku hanya lelaki manula yang penuh dengan harapan, keinginan, impian, yang lebat setiap detik, sehingga pohon kehidupanku semakin ringkih dan hampir hambruk, tak sanggup memikul. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya seekor cacing….”
“Sudah, Pak!”
“Maafkan aku, Bu.”
Kudekati istriku.
“Harusnya kamu kawin dengan laki-laki lain yang pasti akan memberikan semua itu, bukan dengan aku. Tapi kalau kamu tidak menikah dengan aku, aku akan brengsek. Nasibku akan konyol. Kalau tidak ada kamu yang menemaniku selama ini, mengingatkan akau agar tetap di jalan yang benar ini saja, barangkali sudah lama aku ada di penjara.”
“Sudahlah, Pak!”
Diam-diam aku ikut menghapus air mata sebelum sempat keluar. Waktu itu anakku menghampiri lagi.
“Bukan hanya Bapak, itu keinginan semua orang sekarang. Saya kira keinginan semua orang Indonesia. Entah kenapa kita bersama-sama menjadi orang yang tidak tahu diri. Semua kita. Tidak terkecuali siapa pun. Hanya ada yang mampu menutupi, ada yang tidak. Ada yang kelihatan gagah dan bijak, tapi sebenarnya dalam hatinya sama saja. Jadi Bapak tidak perlu lagi menanyakan kepada siapa pun apa harapan mereka. Kalau mau berdoa, berdoa saja, mudah-mudahan kita bisa melewati masa yang sulit ini.”
Aku menggeleng.
“Bapak tidak akan berdoa lagi. Sudah cukup. Yang perlu sekarang berbuat.”
Istriku menoleh dan berhenti menghapus air matanya.
“Ya, betul itu. Berbuat. Tapi tidak usah yang neko-neko seperti yang Bapak bilang tadi. Kalau mau, kalau masih kuat, ambil saja sapu bersihkan halaman di belakang. Cukup! Tidak perlu jadi pejabat atau konglomerat, memangnya gampang. Kalau toh ketiban rezeki nomplok, sebesar itu, belum tentu Bapak kuat, kalau mentalnya tidak siap.”
Sembari membuang seluruh kesedihannya istriku kembali ke dapur. Waktu itu anakku tersenyum lantas mengangguk ke arahku.
“Terima kasih, Pak.”
“Terima kasih?”
“Ya. Terima kasih telah mengembalikan Bapak saya sebagai suami Ibu saya dan Bapak saya.”
“Memangnya selama ini bukan?”
Ami mengangguk.
“Bukan! Sebagaimana umumnya semua orang lain. Kemaren-kemaren Bapak bukan diri Bapak yang sebenarnya.”
“O ya? Lalu kamu sendiri?”
“Saya juga begitu. Semua kita sama!”
Aku berpikir.
“Kalau itu betul, tapi berapa lama kita bisa teatap jadi diri kita?”
Anakku mengangkat pundaknya.
“Ya beberapa detik saja cukup. Karena sebagian besar sejarah kita adalah sejarah orang yang lupa.”
Aku tertegun. Mungkin hanya beberapa detik dalam hidup kita yang panjang ini, kita benar-benar mampu jadi diri kita. Tapi lumayan. Yang penting kebenaran itu masih mau datang. Walaupun barangkali tak pernah bisa kita miliki selamanya, karena hidup bergerak. Karena kita ditakdirkan harus terus mengejarnya. Terus saja mengejarnya. Dan tidak perlu mendapatkannya. Karena mengejar saja sudah cukup. Mengejar jauh lebih indah daripada mendapatkannya.
“Kok senyum-senyum sendiri?” tanya istriku tiba-tiba.
Aku menoleh. ***
.
.
Jakarta, 16 Desember 2010
.
2011. 2011. 2011. 2011. 2011. 2011. 2011. 2011. 2011. 2011. 2011.
Leave a Reply