Cerpen, Radar Madiun, Sapta Arif Nur Wahyudin

Menerobos Lengkara

4.4
(8)

Anjani merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia mengeraskan alunan instrumen marriage d’amour dari ponselnya. Perlahan ia memejamkan mata. Denyut jantungnya berpacu seiring irama musik.

DARAHNYA berdesir. Ia memaksa memejamkan mata lebih dalam. Kemudian meraih bantal dan ia benamkan wajahnya. Ia berteriak sekuat mungkin. Sesak di dada tak juga hilang. Sayup-sayup suara mobil masuk ke pekarangan rumah. Ia membuka bantal, matanya telah sembap.

Sehari sebelumnya, Anjani menemui Wage di kantin perpustakaan kampus. Ia melihat lelaki itu duduk di pojok sambil menyandarkan kepala ke tembok. Pandang matanya ke langit-langit. Wage menyesap sisa ampas di cangkir, kemudian ia menyalakan lagi rokoknya. Melihat Anjani yang datang padanya, Wage memperbaiki posisi duduk.

“Yu! Kopi dua ya!” teriak Wage.

Nggak usah Yu! Nggak jadi. Aku hanya sebentar!” Anjani melotot pada Wage.

“Besok mereka akan datang.” Perempuan itu duduk di depan Wage dengan wajah yang tak keruan. Wage diam, kemudian menampik tangan Anjani yang akan mengambil kotak rokoknya.

“Kita ke pujangga kenalan Bapak besok bagaimana?” ketus Anjani.

“Lusa, aku sudah janjian lusa.”

“Besok tidak bisa?”

“Perkaranya….”

“Perkaranya, kalau kita nggak segera ke sana, aku bisa dibawa kawin oleh dokter itu, Wage!” potong Anjani membuat Wage diam seketika. Wage kembali meraih cangkir kopi yang kosong. Ia mencoba menyesap sisa ampas kopi yang mungkin masih bisa menenangkan pikirannya.

“Kau tidak pernah cerita kalau rumahmu menghadap ke barat…” ucap Wage sambil mengempaskan asap rokoknya ke atas.

“Kau juga, sejak kapan rumahmu menghadap ke timur.”

“Kau benar-benar cinta kan?”

“Untuk apa aku jauh-jauh dari rumah ke kampus, nggak ada kuliah, masuk ke sarang macan ini, apakah untuk sekadar melihat wajahmu yang belum mandi masih baik-baik saja?”

Mereka diam lagi.

“Aku khawatir padamu, kupikir kau akan bunuh diri,” lanjut Anjani lirih.

Wage menatap Anjani dengan menyipitkan mata.

Baca juga  Dia Bukan Pahlawan

“Wage, aku ingin bertanya serius. Apakah benar-benar ada jalan keluar pernikahan lusan seperti…”

“Sssssttttsss….” Wage memotong sambil menggenggam tangan Anjani.

“Percayalah, pasti ada.”

“Kalau…”

“Anjani, jika pun akhirnya kau kawin dengan dokter brengsek itu. Percayalah, tidak semua hal akan hilang dalam arus waktu. Kau harus percaya itu.”

Anjani diam. Air matanya membasahi pipi.

“Wage, aku takut…”

Anjani menarik tangannya. Ia menutup wajah dan menunduk. Wage berdiri kemudian pindah duduk di kanan Anjani. Ia memeluk kekasihnya.

“Bertahanlah untuk besok. Lusa, aku akan jemput pagi. Aku janji.”

Bagaimanapun, orang tua Anjani tidak akan bisa menerima Wage. Anjani adalah anak pertama dari keluarga terpandang. Sedangkan Wage adalah anak ketiga dari keluarga seniman. Ayahnya adalah wartawan budaya di koran lokal Solo. Sedangkan ibunya membuka sanggar tari di daerah Mangkunegaran. Secara adat Jawa pernikahan mereka disebut lusan. Namun, bukan perkara itu yang sebenarnya menjadi alasan. Pertimbangan materi adalah hal utama. Orang tua Anjani lebih memilih dokter yang sudah bekerja di salah satu rumah sakit swasta Denpasar. Meskipun Wage saat ini sudah mengajar teater di beberapa sekolah, ditambah lelaki gondrong ini juga sedang menyelesaikan skripsi di UNS, namun kedua hal itu bukanlah standar jaminan bagi orang tua Anjani.

Suatu kali Wage pernah cerita pada sahabatnya, Baron.

“Coba kau bayangkan, bagaimana tanggapan calon mertuamu, jika melihat calon menantunya adalah laki-laki bertato, gondrong, bertindik, dan kesehariannya hanya mengajar teater.”

“Itu yang akan aku lakukan besok. Berperang dalam keadaan tubuh compang-camping dan penuh luka. Tapi, hei! Apakah kau masih percaya cinta?” lanjut Wage.

“Omong kosong! Mana ada orang tua yang berani melepas anaknya dengan janji: aku mencintai anakmu, Pak!”

Asu! Harusnya kamu memberi semangat pada sahabatmu ini lho!” Keduanya tertawa kemudian. Anjani adalah anak seorang jaksa terkenal di Solo. Ada yang mengatakan bahwa ia masih keturunan darah bangsawan. Kedua adiknya kuliah hukum di Amerika.

Baca juga  Tuhan, Aku Ingin Menjadi Empu

Anjani memilih mengambil jurusan kedokteran UNS. Menurut pengakuannya, ia tak bisa jauh-jauh dari Solo. Bukan karena orang tuanya yang suka membanding-bandingkan Anjani dengan anak jaksa lain. Wage adalah alasan utamanya. Anjani tidak bisa memelihara jarak yang jauh dengan kekasihnya itu.

Di satu sore yang tidak akan dilupakan oleh Anjani, Wage datang secara tiba-tiba ke rumah. Lelaki itu memarkir GL Pro 90-nya di samping deretan tiga mobil mewah keluarga Anjani. Sebelum mengetuk pintu, lelaki tersebut mengeluarkan bingkisan bunga dari ransel. Sayangnya, untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Bukan Anjani yang membuka pintu ketika bel usai dibunyikan. Seorang lelaki tinggi besar dengan kumis tebal yang berdiri mantap di muka pintu. Lelaki berkumis tebal itu adalah ayah Anjani. Ia memandang Wage dari atas ke bawah, ke atas, dan ke bawah lagi. Ia mengulanginya berkali-kali dengan mata yang tajam dan raut wajah sinis. Ini tidak akan pernah berjalan mulus, batin Wage seketika.

Benar saja. Wage tidak dipersilakan masuk ke ruang tamu. Mereka duduk di kursi teras. Belum genap Wage menata napas, hujan pertanyaan bertubi-tubi mengarah padanya. Diawali dari pekerjaan, nama orang tua, pekerjaan orang tua, alamat, hingga pertanyaan menghadap ke mana rumahmu. Namun, setiap kali Wage akan berbicara banyak, Ayah Anjani langsung memotongnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting.

“Maaf, Nak Wage, sekarang Anjani benar-benar tidak bisa ditemui. Ia pergi belanja keperluan menyambut tamu keluarga dokter dari Bali. Jika Nak Wage berpikiran ingin meminang Anjani, pertimbangkan lagi. Anjani anak sulung, sedangkan Nak Wage anak ketiga, ditambah lagi rumah ini menghadap ke barat, sedangkan….”

Rangkaian kalimat itu sebenarnya lebih panjang lagi. Namun, tak ada yang masuk satu pun di ingatan Wage. Semua penjelasan yang ada hanyalah dalih untuk memperkuat bahwa Anjani tidak akan menikah dengan Wage. Atau, jika dengan bahasa kasar: pulanglah! Anjani tidak pantas untukmu. Begitulah isi pikiran Wage meninggalkan rumah Anjani. Sepanjang jalan ia habiskan dengan mengumpat. Wage paham betul, Anjani sedang di rumah. Ia anggap hari itu sedang sial. Kemudian segala yang keluar dari mulut lelaki menyebalkan yang ternyata adalah ayah dari kekasihnya itu hanyalah omong kosong belaka. Omong kosong jika Anjani menerima pinangan dokter brengsek itu. Dan omong kosong juga soal rencana silaturahmi keluarga dokter itu yang jauh-jauh dari Bali.

Baca juga  Anjing Pak Gendang

Namun kenyataannya, perihal silaturahmi keluarga dokter yang datang dari Bali memang benar adanya. Itulah yang membuat Wage semakin meradang. Sedangkan Anjani seakan sudah pupus harapan.

Malam itu, ketika langit malam masih menyisakan gerimis. Sayup-sayup datang suara mobil di halaman rumah Anjani. Perempuan itu masih bertarung dalam gelisah di kamar. Ada setumpuk rasa sesak yang siap meledak. Tiba-tba pintu kamarnya diketuk. Ibunya meminta ia bersiap.

“Anjani, percayalah, tidak semua hal akan hilang dalam arus waktu. Kau harus percaya itu.” Anjani merasakan bisikan suara Wage begitu dekat di telinganya.

Kemudian ia meraih ponsel mengirim pesan. Anjani membuka lemari. Ia bergegas ganti baju. Di tengah malam yang dingin, ketika gerimis masih menjulurkan kaki-kakinya ke tubuh bumi, seorang perempuan cantik keluar dari jendela kamarnya. Ia berlari bertelanjang kaki menerobos kebun belakang rumah. Menerobos gerimis. Menerobos nasib yang dipaksakan oleh orang tuanya. Di lain tempat, seorang laki-laki terpaku seakan tak percaya membuka pesan di ponselnya.

“Jemput aku di depan balai desa Bekonang! Sekarang!” ***

Sapta Arif Nur Wahyudin. Penulis adalah Kepala Humas STKIP PGRI Ponorogo. Bisa disapa melalui IG: @saptaarif atau @ keluargaliterasi_

Loading

Average rating 4.4 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!