Cerpen Ida Fitri (Serambi Indonesia, 14 April 2019)
Simposium ilustrasi Tauris Mustafa/Serambi Indonesia
MENURUT catatan para pengembara, saudagar zaman dahulu dan sebuah kitab klasik beraksara Arab-Jawi, di Kutaraja pernah berdiri sebuah istana yang megah, keindahannya tak kalah dengan istana Topkapi. Mereka menyebutnya Darud Dunya atau Dalam. Tak ada jejak apa pun yang menunjukkan keberadaan bangunan megah itu di masa lalu kecuali dua taman yang berada di luar istana: tempat putri mandi, berupa sungai-sungai buatan dengan tembok putih berbentuk pintu di tengahnya, di mana sungai-sungai itu telah berubah menjadi sungai lumpur nan legam, tak jauh dari sana, ada sebuah tempat bermain berundak-undak yang terbuat dari batu kapur dengan pintu kecil di depannya. Merujuk pada kitab beraksara Arab-Jawi itulah Marah Silau, sang penguasa, merencanakan semacam simposium untuk mengungkapkan misteri lenyapnya Darud Dunya. Diundanglah ahli-ahli sejarah dan ahli-ahli budaya dari penjuru negeri. Dan aku—mungkin karena kedekatanku dengan Agam Sidro, juru bicara sang penguasa—termasuk salah seorang yang menerima undangan tersebut. Demi terlaksananya simposium akbar itu, Marah Silau telah membangun sebuah komplek budaya berwujud dua puluh tiga rumah panggung dari daerah kekuasaannya, lengkap dengan sebuah taman bunga, sebuah tempat ibadah dan sebuah panggung raksasa tempat pembicara menyampaikan makalahnya. Ia menjuluki tempat itu Peukan Budaya.
Dua hari sebelum pembukaan simposium, aku sudah berada di Peukan Budaya, berkenalan dengan puluhan peserta dari daerah lain yang juga telah menghuni rumah-rumah panggung. Panitia membawaku ke salah satu kamar untuk beristirahat; sebuah ranjang dengan televisi ditempel di dinding, sebuah lemari pakaian, lengkap dengan kamar mandi dengan air panas membuat kamar tersebut tidak kalah dengan penginapan bintang empat. Tidak disebutkan berapa uang yang dihabiskan sang penguasa untuk membangun tempat ini. Aku segera berkenalan dengan Pitaloka, penghuni kamar di sebelah kamarku; sejarawan perempuan dari pulau seberang yang menaruh minat besar pada Kutaraja, bahkan ia telah menulis buku tentang laksamana perempuan pertama di dunia yang berasal dari daerah ini.
“Cut Mala memang luar biasa, sungguh perkasa dan agung untuk perempuan di masanya, ketika para perempuan Benua Biru masih berperan sebagai ibu rumah tangga.”
tamanhijau90
Akhirnya, krmbali baca lakonkehidupan sekian lamannya.. heheee…