Cerpen Wahid Kurniawan (Tanjungpinang Pos, 10 Oktober 2020)
POHON itu jenis sawo kecik yang tumbuh besar di depan rumahnya. Lingkaran batangnya sekitar tiga puluh senti, memiliki banyak cabang berdaun lebat, dan buahnya menggerimbun ranum pada musimnya. Di siang hari, pohon itu menjelma pelukan ibu yang menenangkan perempuan itu. Pada garang panas dan desisan angin membawa debu dari area pertambangan, baginya, duduk dan memeluk batang pohon itu sudah semacam candu yang menagih untuk dipenuhi saban hari.
Sebegitu pentingnya si pohon, sampai-sampai perempuan itu bisa duduk berjam-jam di sana. Dan seperti sepasang kekasih, keduanya membunuh hari yang semakin lama kian membawa segenap perubahan di kampung itu, dari yang semula penuh pepohonan asri, kini tinggal tanah penuh lubang galian di sana-sini.
Sesungguhnya, tak ada yang spesial dari perempuan itu, sebab warga setempat hanya mengenalnya sebagai seorang gadis yatim yang bisu. Usianya kini tujuh belas, berperawakan sedang, sedikit tampak tak terurus, dan tak mempunyai kawan. Jika kau penasaran dengannya, ada satu tempat yang selalu ia kunjungi setiap hari, yakni pohon sawo kecik itu. Di bawah rindang payung daunnya, perempuan itu seolah memiliki semestanya sendiri. Ia tak peduli dengan dunia luar.
Atas tindakan ganjilnya itulah, warga juga mengenalnya sebagai perempuan gila.
“Sudah, jangan dilihat terus. Dia memang perempuan sinting,” ucap seorang ibu kepada anaknya, sewaktu melewati jalan depan rumah perempuan itu.
“Mengapa dia memeluk pohon itu seperti ibu memeluk ayah waktu malam hari, Bu?” tanya anak perempuan usia lima tahun itu.
Ibunya terdiam sejenak.
“Mengapa dia tampak bahagia sekali bersama pohon itu, Bu?”
“Mengapa dia seperti menemukan tempat ternyamannya, Bu?”
Dan sebelum “mengapa-mengapa” lain meluncur dari mulut si anak, ibunya buru-buru menukas, “Hus! Jangan ngawur, dia kan gila. Manusia hanya bahagia bila bersama manusia lain. Paham? Selain itu berarti gila. Ngerti?”
Anaknya mengangguk. Lalu keduanya mempercepat langkah. Bergegas pergi.
Pandangan seorang anak yang heran semacam itu memang jamak ia dapati di sela laku rutinnya saban hari. Tak terhitung anak yang heran, bahkan terkadang suka penasaran mendatanginya, lantas bertanya apa yang ia lakukan bersama pohon itu dengan wajah polos. Sementara dia, tentu saja, tidak dapat menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu. Yang dilakukannya, bila si anak tak mengganggunya sama sekali, hanya mendiamkannya sampai anak tersebut bosan dan pergi. Lain halnya bila ada yang mengisenginya, semacam melemparinya dengan batu atau berkerumun mengelilinginya, ia akan menceracau entah apa dengan mata mendelik sampai bola matanya seperti mau keluar, kemudian anak-anak itu berlarian pergi sambil tertawa-tawa.
Perlakuan tak mengenakkan pula datang dari pihak lain. Adalah jamak bagi ibu-ibu di sekitar rumahnya ramai membicarakan perempuan itu. Terlepas dari rasa iba yang terkadang muncul di benak mereka, perempuan itu justru sering dipandang sebagai perwujudan nasib manusia yang tertimpa bertumpuk-tumpuk mimpi buruk.
“Ah, malang betul. Sudah bisu, dapat ayah tiri, ditinggal ibunya pergi, dan kini jadi sinting.” Tetangganya, membuka percakapan di satu kumpul ibu-ibu sore harinya.
“Padahal kalau sedikit terawat, ia jadi gadis yang menawan, lho,” sahut yang lain.
Mereka memandang halaman rumah perempuan itu, sedang yang dipandang tak menghiraukan mereka sama sekali.
“Ia tak perlu jadi menawan untuk disukai sebatang pohon,” celetuk yang lain.
“Menurut kalian, apa mereka sudah melakukannya?”
Mereka saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak.
“Pikiranmu gila, Nyi. Mana mungkin mereka melakukan itu.”
“Loh, jangan salah, semua hal bisa saja terjadi kalau udah menyangkut perasaan.”
“Ngawur ah!”
Tanpa disadarinya, matahari sudah tergelincir di kaki barat langit. Dan sebagaimana biasanya, itulah saat bagi perempuan itu untuk menyudahi rutinitasnya. Ada yang harus ia lakukan. Pekerjaan domestik seperti memasak air, menanak nasi, dan menyiapkan sedikit lauk sebelum ayah tirinya yang bekerja di pertambangan pulang.
Perempuan itu berdiri. Memandang langit yang telah berubah warna, lalu sejenak memandang tetangganya. Mereka, mendapati tatapan itu, seketika tampak sibuk menoleh ke sana-kemari. Lalu perempuan itu pun berjalan masuk ke rumahnya.
***
“Dua hari lagi kita akan pindah dari sini,” ucap ayah tirinya dengan bahasa isyarat. “Rumah ini dijual. Pihak pertambangan ingin membangun kantor semi permanen di sini.”
Di meja makan, ia diam saja. Tapi wajahnya jelas menampakkan keterkejutan yang tak dibuat-buat.
“Apa? Sudah untung kamu kuberitahu. Kita bakal pergi ke kota, hidup di sana lebih enak, tahu!”
Hidup seperti apa yang lebih enak itu? pikirnya. Rasanya, definisi enak sudah lama terenggutkan dari hidupnya sepeninggal sang ibu. Kini, yang ada dalam hidupnya tinggallah ketakutan, kekhawatiran, dan luka-luka yang menderanya baik di dalam jiwa maupun tubuhnya yang selama ini ia adukan pada si pohon.
“Kamu jangan berpikir macam-macam. Kapan saja aku bisa saja membunuhmu,” ujar ayahnya dengan pandangan menyorotkan kebuasan.
Ia pun berlalu ke dapur. Lantas menenggelamkan diri dalam tumpukan piring kotor.
Tak berselang lama, pintu dapur terkuak. Ayah tirinya berjalan masuk. Mendapati kegaduhan kecil itu, ia menoleh. Dan belum sempat ia melakukan apa pun, lelaki itu buru-buru mendekapnya erat. Lalu, seperti malam-malam yang menggetarkan perih dan tangis sunyinya selama ini, lagi dan lagi, ia menjelma kijang malang yang tak dapat memberi perlawanan terhadap serigala yang menerkamnya.
***
Sudah tak terhitung berapa kali ia memikirkan kematian. Ketika bersama si pohon, ia sering membayangkan sebuah tubuh tergantung di dahan yang kuat itu. Alangkah baiknya, bila ia bisa mengakhiri kesakitan yang menimpanya hampir tiap malam. Kendati hidupnya selesai, ia tak akan mengalami penderitaan yang sudah menahun ini. Tapi, sekalipun ia sudah mempersiapkan segalanya: Seutas tali, kursi kecil, dan dahan pohon; pesan ibunya selalu saja berkelebat dalam pikirannya, “Kamu mesti hidup, seburuk apa pun hidupmu.” Dan ia jadi tak memiliki keberanian untuk melanjutkan rencananya. Sungguh, pesan ibunya itu terpasak terlampau dalam.
Sementara kini, tinggal satu hari ia bisa memeluk pohon itu. Membayangkan sebuah alat berat yang dengan mudah merubuhkan si pohon, hati perempuan itu jadi kian mengerut. Ketakutan kehilangan pohon itu terlampau besar dalam dirinya. Bagaimana ia bisa melanjutkan hidup bila pohon itu lenyap? Sebab, selama ini, hidupnya amat tergantung kepada pohon itu. Si pohon adalah tempatnya bernaung, tempat baginya untuk meredam kekalutan hati dan pikirannya, tempatnya mengadu dan berkeluh-kesah, serta tempatnya memperoleh ketenangan batin. Oleh karenanya, bila si pohon lenyap, itu artinya ia mengalami kehilangan untuk kedua kalinya.
Dan ia tak ingin hal tersebut terjadi.
Namun, apa yang dapat ia lakukan? Buntu. Ia tak menemukan skenario apa pun sebagai jalan keluarnya. Maka, seperti biasanya, ia mendekap erat pohon itu, kemudian dengan perlahan melempar pandangan ke salah satu sisi tanah dekat situ. Ingatannya lantas terbawa ke satu malam, lima tahun yang lalu, ketika tanpa sengaja, dari jendela kamarnya, ia menyaksikan lelaki itu mengubur ibunya di sana setelah terlebih dahulu menghujamkan pisau dapur ke perut perempuan malang itu. Benar, ibunya tidak pergi meninggalkan rumah sebagaimana yang orang-orang yakini selama ini, tapi, dibunuh oleh suaminya sendiri, lalu dikubur diam-diam di tanah dekat pohon sawo kecik itu.
Tentu saja, rahasia itu tersimpan rapat. Hanya perempuan itu yang mengetahui kebenarannya. Dan selama ini, ia tak kuasa untuk membongkar kebiadaban itu, sebab lelaki itu mengancam bakal membunuhnya bila ia berani buka mulut. Tapi, sekalipun ia mau, bagaimana ia bisa memberitahu orang lain? Sedang ia tak bisa bicara. Untuk itu, sebagai bentuk baktinya, saban hari ia menemani ibunya di sana. Ia percaya jiwa ibunya bersemayam di dalam sebatang pohon itu.
Itulah alasan mengapa ia selalu menemukan ketenangan di bawah kerindangannya. Memeluk pohon itu rasanya seperti mendekap ibu. Teduh sekaligus hangat. Kasar tapi membuat nyaman.
***
Sehari kemudian, begitu alat berat itu datang dan siap menumbangkan si pohon, dengan kekeraskepalaannya, ia menghadang alat berat itu. Disaksikan warga sekitar, ia berkacak pinggang dan tak mengubah posisi berdirinya sama sekali. Mendapati pemandangan demikian, orang-orang pun saling menggumam, sementara si ayah berteriak meminta perempuan itu menyingkir. Namun, ia tetap kukuh pada pendiriannya. Ia bahkan sama sekali tak gentar ketika mulut alat berat itu persis di depan wajahnya.
Tak ingin membuang waktu lebih lama, beberapa pemuda diminta untuk membawa perempuan itu pergi dari sana. Dengan paksa, ia diseret menjauh dari pohon itu. Teriakkannya lantas pecah menyobek udara siang itu. Ia meraung-raung dengan nada yang menggetarkan daun dan rating pohon. Mendadak, kebisuannya seperti terenggutkan. Sambil berurai air mata, ia terus aja meraung dan berusaha melepaskan diri. Sementara, alat berat itu kini leluasa melaksanakan tugasnya, benda itu mendorong si pohon dengan mudahnya. Lantas, saat itulah, pada akar yang mencuat, tampak tengkorak manusia tersangkut di sana. Orang-orang pun tercekat.
Gumam serupa lebah makin ramai. Mereka berduyun-duyun berlarian menuju pohon itu. Semua sibuk dengan temuan yang menggeparkan itu, sampai-sampai tak ada yang menyadari bahwa ayah perempuan itu diam-diam pergi. ***
.
.
WAHID KURNIAWAN, mahasiswa Sastra Inggris di Universitast Teknokrat Indonesia. Tinggal di Lampung Selatan.
.
Perempuan yang Mencintai Pohon. Perempuan yang Mencintai Pohon. Perempuan yang Mencintai Pohon. Perempuan yang Mencintai Pohon.
Telkom_University
Nice website keep it up!