Cerpen Muhammad Naufal Mahdi (Fajar, 05 Mei 2019)

Si Malas ilustrasi Aan YS/Fajar
“Aku lelah. Aku ingin pergi.”
“Pergi?”
“Ke kebenaran.”
“Hah? Dengan apa?”
“Pisau ini.”
***
Berharaplah terus padaku kau anak dungu! Sejak sadarnya dari tidur, suara itu, secepat matanya terbuka, memenuhi seluruh isi tubuhnya. Ada bunyi pada perutnya. Ada getaran juga, semacam gempa. Telinganya singkil. Menjalar ke kepalanya secepat aliran listrik. Seluruh kakinya mendidih. Tangannya pun begitu. Otaknya tegang. Berusaha mencegah reaksi dari suara itu atas tubuhnya meski gagal.
Demikianlah ia terperanjat. Bangun bukanlah perkara mudah baginya. Itu berarti ada detik yang musti ia singkirkan. Ranggong tahu betul perkara ini.
Suara itu telah menguasai seluruh yang ada padanya. Ia hendak melawannya. Menyingkirkannya apalagi. Aduh, dengan apa? Ia belum mempunyai apapun semenjak matanya terbuka.
Dengan susah payah ia bangkit dari kasurnya. Kasur itu dibiarkan tergeletak menangis seperti anak yang meratapi kepergian ibunya di hadapan makam. Tergopoh-gopoh ia masuk ke kamar mandi untuk menyeka wajahnya dengan air.
Hari ini ia harus memberi makan kambing-kambingnya. Erangan “mbek… mbek…” tentu memberinya isyarat agar memberi semua kambing itu makan. Semakin mengerang kambing itu, semakin pula ia menderita ia. Perpaduan antara suara misterius itu dengan erangan kambing sungguh sempurna.
Dan, coba kau perhatikan semakin sengsara ia di beranda rumah menyadari bahwa hari ini tak ada kopi untuknya. Oh, di manakah itu ibunya? Harusnya ia sudah mempersiapkan semua kebutuhan Ranggong. Bukankah tubuhnya harus siap di hadapan kambing-kambing yang sedang lapar itu?
Tak biasanya sang ibu lalai terhadap tugasnya. Kebutuhan Ranggong harusnya terpenuhi seiring berdetaknya jarum jam. Bagi anak seperti Ranggong, ibu baginya adalah petugas kebersihan, pelayan warung makan, sekaligus anak buah.
Leave a Reply