Abidah El Khalieqy, Cerpen, Suara Merdeka

Putri Sang Pemimpi

3
(2)

MENJEJAK tanahmu, lama aku termangu. Inikah bumi yang kaukisahkan itu. Yang menyimpan pundi-pundi karun dunia. Namun sengsara karena ribu-ribu mata terus mengawas dan ribu-ribu tangan terus mengeruk. Tak ada habisnya.

“Ini tumpah darahku, Nona. Jangan sembarang bicara.”

Aku membisu. Melangkah bersama kerinduan. Mata asing namun ramah, menyalamiku dengan senyum dan nyanyian. Kuhikmati embusan angin, jalan raya dan rindang pepohonan. Kulihat juga sekilas gunung-gunung menjulang tinggi, diam, dan kembali tertutup kabut.

Terbayang pula dalam kabut itu, aku bergegas mencari cermin. Paling besar dan lebar. Ingin kupastikan seberapa acak diriku kini. Benarkah katamu, model sisiran rambutku yang bergaya sedikit punk ini, atau gaun yang sedang kukenakan ini memang sedikit kedodoran. Padahal, aku tengah mencoba gaun para putri model Abad Pertengahan yang berumbai-rumbai, dan bermanik-manik pula. Model kuku pun kubentuk seperti kepala kucing, dan kugambari dengan mata dan kumis lengkap dengan sepasang taring menyeringai. Hikhik.

Andai saja engkau tahu dan mengerti tentang gaya, tentang fashion, pasti tak perlu merisaukan penampilanku yang agak asing ini. Karena demikianlah tradisi sebuah gaya, temperamen sebuah citra. Seperti lukisan surealis Salvador Dali, tak masalah judulnya Perempuan Cantik, tapi yang ditampilkan kursi terbalik. Ini seni. Ekspresi jiwa tinggi. Memiliki citarasa yang kuhikmati dengan sepenuh hati. Termasuk selera untuk dan dalam bermimpi.

“Jangan bermimpi, di sini!,” katanya mantap. Haqqul yakin.

“Tapi orang-orang besar pernah bilang, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Apa itu bukan mimpi menurutmu?”

“Bukan. Karena kita bukan orang besar. Titik!”

“Kalau bulat dan bundar pasti, hihihi….”

“Juga bukan. Tapi segi delapan!”

Ah! Percuma ngomong sama manusia skeptis begitu. Membiarkan diri tak punya mimpi. Tak punya cita-cita. Mungkin saja kenyataan hidupmu demikian pahit dan berat, jadi tak ada lagi ruang untuk bermimpi dan menggantungkan cita-cita sampai ke langit tujuh. Kasihan benar engkau itu. Masak, mimpi saja tak boleh. Betapa kering dan gersang hidup ini tanpa mimpi. Tanpa jalan setapak menuju multidunia. Dunia warna pelangi.

Rupanya, tak banyak yang tahu bahwa para ilmuwan kaliber dunia juga suka bermimpi. Para pengarang besar amat menyukai mimpi. Para ratu dan raja-raja demikian tergila-gila pada mimpi. Para konglomerat dan teroris dan penambang timah dan penjahit dan ibu-ibu arisan dan batita playgroup dan para caleg dan para ustaz dan sutradara film dan artis-artis, semuanya berumbai-rumbai mimpi. Jangan katakan bahwa para petani, para istri diplomat, para gubernur, para veteran, para mahasiswa itu tanpa mimpi. Semuanya berkuyup dengan mimpi.

Baca juga  KARTU LEBARAN BUAT LAIKA

“Lagi pula, pernahkah Anda tidur tanpa mimpi?”

“Aku tak mau mimpi. Tak suka mimpi. Bahkan dalam tahap tertentu, membenci mimpi. Menjauhkan hidup dari mimpi. Tak ingin bertemu dengan mimpi.”

“Ah!”

“Ow! Kalau aku lebih suka meniru Nabi Yusuf,” kataku menyentil.

“Dia Nabi dan kita umat Muhamad.”

“Betul. Tapi mimpi Nabi Yusuf direkam Kitab Suci. Berikut takwilnya.”

Dan kulihat dahimu mengernyit, mempertegas tato sujud alias dua tanda hitam di kening, yang biasa dianggap sebagai kuatnya sembahyang pada malam-malam berbintang. Ahli sujud ini meragukan mimpi Nabi Yusuf dan takwilnya. Kurang validkah rekaman Kitab Suci?

“Bukan begitu maksudku. Mimpi yang terberi itu wallahua’lam. Tapi aku tak mau bermimpi. Bahaya!”

“Ah! Masak sih?”

“Iya. Kaulihat kan di televisi. Para caleg yang bugil di arak massa karena edan gara-gara mimpi jadi anggota dewan tapi tak kesampaian. Kaudengarkan cerita mahasiswa S-3 tiba-tiba shalat menghadap selatan gara-gara mimpi jadi doktor tapi gagal. Kaulihatkah tante ganjen tetanggamu tiba-tiba perutnya menggelambir mengerikan gara-gara mimpi bertubuh langsing bak peragawati tapi gagal operasi sedot lemak. Kaulihat kan?”

Aku merinding membayangkan semua contoh yang keluar dari mulutmu. Benar juga, pikirku. Pantas saja alergi mimpi. Satu alasan yang masuk akal. Terlalu berat risiko mimpi yang gagal. Tapi bagaimana kalau ternyata mimpi itu berubah jadi kenyataan?

“Sesekali pergilah ke Rumah Sakit Jiwa. Di sana kau akan menemukan bahwa hampir seluruh penghuninya adalah orang-orang yang gagal meraih impian!”

“Oya? Kau sudah pernah bertandang ke sana?”

“Secara spiritual dan intelektual, sudah.”

“Berarti secara fisik belum?”

“Suatu saat nanti. Karena RSJ akan lebih afdal jika aku bertandang secara jiwa juga.”

Ha! Mantap benar kau ini. Tegas sekali pilihan hidupmu.

Jangan sekali-sekali bermimpi, karena hidup adalah rantai kenyataan. Bukan lompatan impian apalagi khayalan. Itukah alasan mengapa engkau sukses dan berkecukupan? Hidup tenang karena tak digelayuti utang. Tak diganduli hantu sebagaimana kaum pemimpi yang suka awut-awutan. Ya seperti diriku ini. Karena siang malam bermimpi jadi istri diplomat, segala akses menuju sana kuriset satu demi satu. Termasuk tentang kemungkinan gagal dan segala macam kendala. Orang-orang harus kudekati. Teknik-teknik yang mesti kupraktikkan sendiri.

Tentu saja secara intens, aku juga selalu membayangkan kalau calon suamiku itu seorang duta besar untuk negara paling makmur di seantero jagad ini. Kalau hanya negara macam Somalia atau Bangladesh atau Palestina, aku ogah. Paling tidak, calon suamiku mestilah seorang duta dari negara macam Swedia atau Kuwait atau Prancis atau mungkin Saudi yang bertumpuk dinar dan riyal. Hehe.

Baca juga  Keris Kiai Setan Kober

Akan kugantung cita-citaku di langit itu! Yang penting logis. Masuk akal. Seorang mahasiswi nyaris doktor begini, berparas lumayan aristokrat begini, dari keluarga yang menjunjung arti genetika dan makna perjuangan (termasuk perjuangan mendapatkan jodoh), dengan usia yang cukup siap menerima pinangan, kurang syarat bagaimanakah diriku untuk bermimpi tentang laki-laki diplomat semacam itu?

Masuk akal kan impianku? Bukankah juga, dari impian seperti ini aku dapat merancang masa depan dan menguatkan artikulasi doa-doa. Dan jika doa-doaku terkabul, mimpi itu akan jadi kenyataan. Dream comes true!

“Masalahnya jika gagal, impian tinggal impian, apa yang bakal kau lakukan?”

“Ah! Biasa. Aku cukup berbesar hati untuk menerima kekalahan, termasuk jika impianku hanya tergantung di langit, tak mau turun ke bumi. Itu nasib namanya. Bagian hidup yang sudah digariskan.”

“Baguslah jika masih mampu menerima takdir dengan lapang dada dan luas hati. Aku hanya khawatir, baru bermimpi saja kondisimu sudah awut-awutan begini, entahlah apa yang akan terjadi jika gagal. Semoga arak-arakan si bugil di televisi adalah berita terakhir untukmu.”

“Aku ini putri sang pemimpi, tauk!”

Aku tegaskan diri sekali lagi. Agar aku masih bisa mengintip berbagai wajah gemawan yang indah dan selalu tak terduga. Membawa agenda tersendiri setiap perjalanan udara. Karena wajah awan yang kulalui tak pernah serupa. Berbeda-beda. Persis dengan wajah-wajah para penumpang, selalu berganti dan beraneka. Tak peduli penumpang domestik atau bukan, jika boleh mengabsen, akan kutunjukkan nama baru yang berbeda-beda dalam setiap perjalanan.

Pertama adalah Bu Menteri dengan dua stafnya. Duduk paling depan di kelas eksekutif. Berturut-turut di belakangnya, Keluarga Kerajaan, Para Pengusaha, Para Turis Bule, Para Anggota Legislatif, Para Artis, dan lain sebagainya.

Seperti ibu di sampingku dalam pesawat tadi, tertawa-tawa serakah membisik temannya. “Rupanya kita semua ketagihan negeri ini. Lalu pulang dan kembali lagi. Lagi. Lagi.” Matanya berkilau seperti benda yang melingkar di kedua pergelangan tangannya. Emas murni seberat duka lara para yatim di Ajun. Begitu besar gelang itu, aku belum pernah melihat yang serupa.

Kupikir benda itu hanya pas dipakai para pemain lenong atau ketoprak. Dengan bangganya, ternyata ibu itu berkali-kali menepuk pundak temannya, mungkin biar gemerincing gelang itu sampai ke telingaku, juga telinga semua penumpang. Ah!

Baca juga  Tiga Cerita di Batang Pisang

Terbayang juga di benak ketika aku menaiki tangga pesawat internasional dengan hati penuh. Mengembang senyuman. Ringan kakiku melangkah mendaki satu demi satu. Usai penantian yang panjang di ruang tunggu, aku lega telah duduk berjajar penumpang yang lain. Merapat jendela karena memperoleh nomor istimewa. Itulah seat number yang selalu kuimpikan. Sebelah jendela. Karena dengan itu, aku bisa melongok gumpalan awan raya nan jelita.

“Inikah penyulingan raksasa milik Tuhan, yang mendaur air dari masa ke masa hingga kiamat tiba?” bisikku dalam hati sendiri.

Pesawat terbang di atas 27 ribu kaki. Kusaksikan keindahan awan yang bergugus-gugus, kadang seperti piramida putih, untaian biru gemunung raksasa. Semesta yang mengerucut, sempurna dalam takbir dan tasbih pada-Nya.

“Hai, jangan melamun, Nona. Tugas kita masih panjang.”

“Ah! Kau ini pelupa rupanya. Aku ini putri sang pemimpi!”

“Sebentar lagi, listrik di sini akan padam.”

“Bukan padam, tapi kematian. Kegelapan mesti ditata ulang, kampung-kampung sekarat diremajakan. Aspal usang penuh korupsi dan pungli perlu diganti. Listrik mati memberi jeda bagi manusia untuk refleksi, keluar dari rasa pengap tipu muslihat, dunia busuk penuh kotoran.”

“Kau bermimpi, Nona. Ini negeri memang banyak cela. Sarat cacat dan mudarat.”

“Oya? Seberapa cacat jika dibanding mimpi-mimpiku?”

“Cacat negeri menghancurkan, cacat mimpimu meleburkan rindu.”

“Ah!”

Aku bergidik. Lalu tergetar. Suasana jiwa timbul tenggelam, mengombak terus tak kuasa diam. Kurangkum segala pikiran tentang takdir, tak ketemu juga larik kesimpulan yang harus kupinggir.

Sepiring nasi telah raib dari tanganmu, Kawan! Lalu ingatanmu mengembara pada baju-baju dan kendaraan dan rumahmu. Juga kampungmu, para janda dan yatim piatu. Ini negeri telah dipenuhi gedung-gedung pertunjukan, banyak dalang dan sutradara yang dikorbankan. Bertahun-tahun, berpuluh tahun membangun, hanya pikun berarak. Peristiwa demi peristiwa digulung bencana. Hati berjuta bengkak-bengkak.

“Jangan melamun, Nona. Ini bandara, bukan taman hiburan.”

“Ah! Kau memang sungguh pelupa”.

“Apalagi jika berada di sisi sang pemimpi, hik hik hik….”

Sepasang kakimu melangkah pasti. Coba menggandengku dengan sentuhan jemari. Padahal kau tahu, sudah sejak dulu aku menghindar dari hal seperti ini. Walau itu di negerimu, dan aku sedang sendiri. (*)

Yogyakarta, 2010

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!