Cerpen S. Prasetyo Utomo (Solo Pos, 02 Juni 2019)

Mantra Pemikat Lebah ilustrasi Solo Pos
“Izinkan aku berguru padamu!” pinta Lurah Ngarso pada Ki Broto. D i pendapa itu Lurah Ngarso duduk bersimpuh di tikar pandan, berhadapan dengan Ki Broto, ingin mempelajari mantra menjinakkan lebah. Tapi Ki Broto hanya memandangi wajah Lurah Ngarso. Tersenyum-senyum. Ia menandai niat busuk di balik keinginan Lurah Ngarso yang senantiasa berperangai masam itu.
“Lebah-lebah itu membawa petaka.”
“Maaf, saya tak akan menurunkan mantra pada siapa pun,” tukas Ki Broto. Lurah Ngarso tersentak. Ia datang ke padepokan Ki Broto dengan menaklukkan keangkuhannya sebagai seorang pamong desa. Ia memasuki pendapa rumah Ki Broto dengan langkah bimbang, dan mesti lebih banyak menundukkan muka, agar Ki Broto berkenan menurunkan mantra penjinak lebah.
“Untuk apa kau memiliki mantra penjinak lebah?” K i Broto seperti tahu isi hati Lurah Ngarso dan menertawakannya.
“Di ladang-ladang petani masih banyak sarang lebah hutan yang membahayakan keselamatan warga.”
“Lebah tak pernah berbahaya bagi manusia,” tukas Ki Broto, seperti meledek Lurah Ngarso. Lurah bertubuh kurus, dengan tinggi sedang, berkumis jarang, dan selalu merokok itu, biasa mengangkat muka berhadapan dengan warganya. Garis bibirnya sinis, dan senantiasa mengejek siapa pun yang hadir di hadapannya.
“Kalau memang kau tak berkenan menurunkan mantra penjinak lebah itu, usirlah lebah hutan yang bersarang di dahan pohon akar seribu,” pinta Lurah Ngarso. “Saya akan berterima kasih padamu, lantaran menenteramkan kehidupan warga di sekitar desa kita.”
“Kalau lebah itu kuusir, akan ada orang yang diuntungkan untuk kepentingan bisnisnya. Lapisan pasir di sungai dekat pohon akar seribu itu akan digali bos penambang,” kata Ki Broto hati-hati. “Selama ini lebah-lebah itu yang menjaga lembah di bawah pohon akar seribu agar tidak ditambang pasirnya.”
Leave a Reply