Cerpen Zainul Muttaqin (Solo Pos, 09 Juni 2019)

Sorban di Leher Perempuan Malam ilustrasi Solo Pos
Haji Zulkarnain mengunci pintu dari luar. Ia membawa langkahnya ke selatan, pada sebuah diskotik, jauh dari rumahnya. Gerak kakinya sangat cepat, seperti memiliki ilmu meringankan tubuh hingga hanya dalam hitungan detik sudah sampai laki-laki bersorban itu di tempat tujuan. Cahaya bulan melatari sosoknya yang tengah berdiri di depan diskotik, tempat yang sering ia kunjungi larut malam hari, tanpa seorang pun mengetahuinya.
Sudah hampir satu bulan ini, Haji Zulkarnain rajin berkunjung ke tempat itu, tempat para wanita memamerkan belahan dadanya. Gelas-gelas bir beradu. Bau alkohol terbang di udara. Sekilas dalam pandangan mata Haji Zulkarnain, ruangan yang cukup besar itu tampak seperti surga. Tidak ada kesedihan di sana, hanya gelak tawa bahagia yang meledak-ledak disertai musik merangsang tubuh untuk bergoyang.
Dia sudah dikenal oleh orang-orang dalam diskotik itu. Kedatangannya memang selalu dirindukan. Semalam saja Haji Zulkarnain absen, mereka akan bertanya-tanya satu sama lain. Berbeda saat pertama kali Haji Zulkarnain mau masuk ke tempat hiburan itu, seorang preman mencegahnya, mengintrogasinya seperti orang pesakitan.
Entah apa yang dikatakan Haji Zulkarnain pada preman diskotik saat itu. Tiba-tiba saja preman berbadan kekar, lengkap dengan tato hampir di seluruh tubuhnya itu menjadi akrab dengan Haji Zulkarnain. Preman itulah yang kemudian menjadi pembuka jalan bagi Haji Zulkarnain untuk masuk ke diskotik, membebaskan Haji Zulkarnain melakukan semua kegiatannya.
Orang-orang—laki-laki dan perempuan— yang semula menari memilih berhenti, musik dimatikan begitu terdengar batuk Haji Zulkarnain memasuki ruangan. Mereka memandangi Haji Zulkarnain dengan perasaan bersalah. Haji Zulkarnain meladeni mereka yang mau mencium tangannya, seakan ingin menebus kesalahan pada laki-laki bersorban itu.
Haji Zulkarnain naik ke atas panggung, sebuah tempat yang memang sudah disediakan oleh pengelola diskotik padanya. Haji Zulkarnain menolak dengan cara paling sopan saat seorang pelayan menawarinya bir terbaik di tempat itu. Ia hanya minta air putih. Haji Zulkarnain melepas sorban yang sejak semula melingkari lehernya. Ia pegang sorban di tangan kanannya.
Risah
Sorry to say, “dakwah” dalam cerpen ini jueleek banget dah. Khas sinetron religi indosiar yang kualitas rendahan. Kukira Mustofa Bisri, berhasil memadukan sastra religi tidak sekadar penyeru kebaika yang terlalu gamblang dibaca. Kalau boleh dibandingkan, kelas Zainul masih sinetron religi Indosiar. Belum menyentuh sanubari.
Atau memang Zainul hanya ambil momen ramadhan, sehingga cerpennya diperalat saja agar dapat jatah pemuatan? Emmmm. Makin receh dah.