Ahmadul Faqih Mahfudz, Cerpen

Malam-Malam Nyai

5
(2)

Cerpen Ahmadul Faqih Mahfudz (Jawa Pos, 09 Juni 2019)

Malam-Malam Nyai ilustrasi Budiono - Jawa Posw.jpg

Malam-Malam Nyai ilustrasi Budiono/Jawa Pos

Menjadi apa dan siapa pun aku di siang hari, di malam hari aku tetaplah seorang perempuan.

SIANG hari, kau bisa saja melihatku bagai sosialita karena dikelilingi istri-istri pejabat atau istri-istri pengusaha. Mereka ikut suaminya ke pesantren kami untuk memohon doa kepada Abah agar suaminya bisa menjadi bupati, agar menjadi gubernur, agar menjadi Kapolda, agar menjadi komisaris perusahaan, atau agar bisa memenangkan berbagai tender dari proyek-proyek besar di negeri ini.

Ada juga di antara mereka yang ikut suaminya untuk meminta doa, lebih tepatnya meminta dukungan, karena ingin menjadi calon wakil presiden. Padahal, pemilihan presiden masih lama. Dan, padahal, belum ada satu pun calon presiden yang melamar suami perempuan itu untuk menjadi wakilnya.

Maklum, pesantren kami memang satu-satunya pesantren besar di kabupaten ini. Bahkan, salah satu pesantren terbesar di provinsi ini. Sejak didirikan, umurnya sudah 273 tahun. Sudah beberapa generasi yang menjadi pengasuhnya. Santrinya 13.700 orang, putra dan putri. Belum lagi puluhan ribu alumnus yang tersebar di berbagai kabupaten dan provinsi.

Bisa kaubayangkan politikus mana yang tidak tergiur untuk datang ke pesantren ini?

Siang hari pula, di hadapanmu, mungkin aku benar-benar terlihat seperti seorang ningrat karena ditakzimi ibu-ibu wali santri yang anaknya tinggal dan belajar di pesantren kami. Atau, karena aku begitu dihormati masyarakat yang setiap hari silih berganti bersilaturahmi membawa persoalan masing-masing untuk diadukan kepada kami. Mereka tidak hanya datang dari berbagai pelosok desa, tapi juga dari berbagai kota. Begitulah, selain mengasuh pesantren dengan belasan ribu santri, Abah juga seorang kiai yang dirindukan petuah-petuahnya oleh umat.

Baca juga  Panggung Terakhir

Namun, kehormatan-kehormatan itu tak mampu menghapus laraku. Meski secara materi hampir tak ada satu pun yang kuimpikan lagi karena segalanya sudah terpenuhi. Rumah besar, perabot lengkap, juga santri-santri yang selalu siap membantu pekerjaan rumah kami: dari pekerjaan rumah yang berat seperti membuat bangunan baru hingga yang ringan-ringan seperti membersihkan perabot berdebu.

Mobil mewah dengan sopir yang selalu siaga mengantarku ke mana saja dan kapan saja. Belum lagi mobil-mobil mewah lainnya. Milik mereka yang secara sukarela mengizinkan, bahkan mengharap kendaraannya kami bawa ke mana saja dan kapan saja. “Agar harta dan kehidupan kami ikut tepercik keberkahan,” katanya.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

4 Comments

  1. Jalan ceritanya apik dan ending nya lumayan mengagetkan. Bagus bagus

  2. Risah

    Menarik. Karena ini adalah sastra ditulis laki-laki, perempuan hanya ditempatkan objek. Penulis dan “abah” adalah sudut yang kurang lebih sama. Menempatkan Sum sebagai objek, apapun dan bagaimanapun kondisinya.

    (Pasti) Akan berbeda kalau ini ditulis perempuan. Suara Sum bisa saya pastikan lebih frontal dalam “menuntut”.

    Jadi ingat film Korea, “Forzen Flower”. Kuasa lelaki–raja yang lumpuh tetap tak boleh lebih unggul dari perempuan–sang permaisuri.

  3. Munifah

    Mantul. Saya bukan sastrawan dan bisa dipastikan tidak paham sastra, tetapi saya tertarik dengan cerita nyai Sum. Sebagai seorang perempuan saya bisa merasakan apa yg dirasakan nyai Sum. Dan penulis dengan apik bisa memposisikan tokoh 2 dalam cerita ini dengan baik dan objektif.

  4. J Muhammad

    Sungguh sebuah keharusan untuk mendesah ketika menyelesaikan cerita ini. Cerita yang manusiawi, dengan rapi merahasiakan akhir yang membuat pikiran mengeluh; “Ah, aku baru saja tertipu.” Sederhana namun apik ..

Leave a Reply

error: Content is protected !!