Analisa, Cerpen, Ramajani Sinaga

Di Satu Titik, Kau Menghantarkan Aku

0
(0)

Aku sedang meletakkan kakiku dan mencoba berjinjit dan memanjang-manjangkan leher, supaya mampu melewati tembok sekolah. Hari ini ialah hari yang tidak menyenangkan sama sekali ketika berada di sekolah. Lebih baik aku cabut saja. Saat aku mulai memasang ancang-ancang, mirip seperti orang sedang memasang kuda-kuda, tiba-tiba saja Gerry, si teman berhati malaikat itu lewat.

“Kabur, ya?”

Aku mendengus pelan, tanda kepadanya agar dia tidak perlu ikut campur dengan urusanku.

“Nanti siang aku ke rumahmu, ya. Ada kerja kelompok.”

Aku tersenyum (lebih tepatnya, tersenyum menghormati). Tapi tiba-tiba saja, satu ide terlintas di kepalaku, “Kenapa tidak di rumahmu saja?”

“Di rumahmu saja. Di rumahmu kan banyak makanan.” Jawabnya sederhana. Sampai sekarang, hari ini, detik ini, aku tidak pernah menginjakkan di sana, di rumahnya.

Sekilas, aku melihat mimik wajah Gerry berubah terkejut, sebelum ia kembalikan lagi seperti biasa. ”Tidak bisa, aku ingin mencicipi kue buatan ibumu.” Ia menolak dengan alasan yang tidak bisa kuterima.

Kemudian aku melompat, melewati tembok sekolah, dan menginjakkan kaki di tanah yang basah sisa hujan tadi malam.

***

Aku di sini, berdiri di sebuah rumah sederhana, mirip rumah peninggalan zaman Belanda, atau memang ya, rumah kuno ini adalah salah satu sisa-sisa saat masa penjajahan dulu. Rumah ini adalah rumah Gerry. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah seorang teman berhati malaikat. Aku sungguh penasaran bagaimana ia hidup sehingga menjadi orang baik seperti itu.

Setelah aku mengetuk daun pintu rumah ini, seseorang terdengar melangkah keluar dan membuka pintu. Dari sana muncul seorang wanita separuh baya dengan daster khas ibu-ibu, rambut yang di gulung ke atas yang tampak berantakan, serta tatapan mata dingin. Dan matanya, matanya mirip seperti punya Gerry.

Baca juga  Tutup Cangkir

“Cari siapa?” Tanyanya ketus.

“Ah!” Aku tersentak sesaat. “Gerry, tante.” Jawabku dengan nada yang kuusahakan ramah.

“Oh.” Balasnya singkat. “Masuk, tunggu di ruang tamu.” Sambungnya dingin sambil berlalu meninggalkanku.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Sederhana namun indah

Leave a Reply

error: Content is protected !!