Kulihat ia menghela napas. Matanya menerawang jauh. Ia kemudian diam. Sesekali pandangannya menyapu halaman rumahnya yang luas. Beberapa dahan pohon mangga berayun-ayun lembut diterpa angin senja. Aku jadi iba melihatnya. Kubiarkan ia larut dalam diamnya.
Diam-diam dalam benakku seolah sebuah video masa lalu kami diputar. Dari kecil sebenarnya Ahmad termasuk jagoan. Aku dan kawan-kawan mengaguminya. Ia langganan juara kelas sejak SD. Ia ketua kelas kami di SMA dan suka berbicara politik sehingga ia dijuluki ‘sang Politikus’. Cita-citanya tidak lain tidak bukan: ingin menjadi politikus; ia ingin menjadi anggota dewan. Tidak mengherankan bahwa sekembali dari belajar ilmu politik di Yogya, ia memilih jalan hidup aktif dalam partai politik. Belakangan, ia mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif alias anggota DPRD. Berita itu bukanlah hal yang aneh. Ia berbakat dan mungkin yang terbaik di kampungku dalam hal urusan politik dan partai. Ia pun telah terlibat bertahun-tahun dalam partai. Beda kami berdua adalah dia pulang kampung, sedangkan aku tidak. Aku bertahan di Jakarta untuk menjadi peneliti dan dosen setelah menyelesaikan kuliahku di Bandung.
“Kali ini aku merasa benar-benar seperti berjudi…,” ujarnya tiba-tiba, membuyarkan lamunanku.
Aku belum menyahut, masih terdiam. Di benak kucoba mereka-reka arah perkataannya. Sebelum kurangkai kata, ia telah melanjutkan kalimatnya.
“Aku sudah meminjam uang pada orang tuaku. Kau pasti kaget kan?”
“Maksudmu, engkau sudah kehabisan uang?” tanyaku.
Ia mengangguk, lemah, hampir-hampir tanpa ekspresi.
“Aku tak tahu sudah berapa puluh juta, bahkan sudah ratusan juta yang kuhabiskan untuk pencalonanku yang sudah dua kali gagal ini. Untuk operasi anakku tempo hari malah aku sudah meminjam ke sana-kemari, pinjam ke mertua dan ke orang tuaku. Tak pernah kusangka jadi begini. Aku seperti luluh-lantak!” katanya.
Aku diam. Kubiarkan ia melepaskan beban yang menggayut di dadanya. Biarlah sejenak ia lega dan terbebas dari semua nestapa yang menghimpitnya, pikirku. Kepadaku hampir semua persoalannya pasti dikisahkannya. Jika dia gembira, aku pun akan ikut merasakannya, begitu pun sebaliknya. Jika kami berdua bertemu, hal yang sangat pribadi pun akan keluar seperti air bah, hampir-hampir tidak ada yang dapat kami tutup-tutupi. Aku mafhum tentu saja.
Leave a Reply