A Zakky Zulhazmi, Cerpen, Kedaulatan Rakyat

Guru (2)

  • Guru (2) - Cerpen A Zakky Zulhazmi

    Guru (2) ilustrasi Joko Santoso (Jos)/Kedaulatan Rakyat

0
(0)

Cerpen A Zakky Zulhazmi (Kedaulatan Rakyat, 30 Juni 2019)

AKU tak tahu sejak kapan ia dipanggil Guru. Tentu saja Guru di sini bukan dalam arti sempit. Bukan orang yang setiap pagi datang ke sekolah untuk mengajar murid-muridnya. Panggilan Guru, menurutku, seperti semacam panggilan penghalusan, untuk tidak memanggilnya dukun, begawan, kiai, tabib atau semacamnya.

Ia memang tokoh yang disegani di kampungku. Konon ia berasal dari pulau seberang. Konon pula, leluhurnya adalah orang-orang yang babat alas mendirikan kampungku. Tidak ada yang pasti, tapi yang pasti ia adalah seorang yang piawai menyembuhkan beragam penyakit.

Dulu, ketika aku kecil, tetanggaku terserang demam tinggi berhari-hari. Badannya panas, ia menggigil, kalau malam sering mengigau. Rumah sakit dan para dokter tak membuatnya sembuh. Keluarganya nyaris putus asa. Hingga salah seorang kerabat menyarankan untuk membawa si sakit ke Guru. Benar, saran itu dijalankan, ia pun sembuh, hanya dengan meminum ramuan racikan Guru.

Setiap hari ada saja yang mendatangi rumah Guru. Sebagian besar dalam rangka berobat, sebagian yang lain meminta “jalan keluar” untuk urusan rumah tangga, usaha yang hampir bangkrut dan lain-lain. Guru tidak pernah memasang tarif untuk jasa pengobatan yang ia berikan. Orang-orang yang datang dengan gula kopi atau hasil panen tetap ia layani dengan baik sebagaimana orang yang menyelipkan amplop tebal.

Mereka yang akan maju dalam pencalonan kepala desa selalu datang kepada Guru. Begitu juga para caleg, bahkan calon bupati dan calon gubernur. Mereka merasa perlu untuk sowan kepada Guru. Sekadar untuk minta doa restu.

Pernah juga Guru mendamaikan dua kelompok yang bertikai gara-gara pemilihan kepala desa di kampungku. Andai Guru tidak turun tangan, mungkin darah telah tertumpah.

Baca juga  Rumah Batu Kakek Songkok

Semua baik-baik saja, tak ada yang aneh, hingga pada suatu hari yang gelap, kampungku dihajar banjir bandang. Hujan deras berhari-hari menjadikan kampungku serupa waduk. Air di mana-mana. Sejauh mata memandang hanya air. Tak banyak yang punya rumah dua lantai di kampungku. Aku tak tahu bagaimana orang-orang bertahan. Aku juga tak tahu berapa orang yang hilang diseret banjir bandang.

Aku beruntung karena aku dan keluargaku bisa bertahan di lantai dua rumah kami. Bantuan yang sedikit terlambat akhirnya datang. Sejumlah orang dievakuasi dengan perahu karet. Tapi hujan yang terus mengguyur menyulitkan proses evakuasi.

Di tengah suasana yang buruk itu aku mendengar kabar bahwa Guru menawarkan semacam serbuk yang membuat peminumnya bisa berjalan di atas air. Semula berita itu kukira kelakar belaka. Tapi rupanya aku keliru. Aku melihat sendiri Guru membagikan serbuk kepada orang-orang dengan berjalan di atas air! Serbuk itu terbungkus plastik kecil. Keluargaku mendapat bagian juga. Guru sendiri yang memberikan.

Guru berjalan di atas air seperti ia berjalan di atas tanah, terlihat biasa saja. Bahkan ia dengan mudah berlari ke sana kemari membagikan serbuk. Mungkin orang-orang ternganga demi melihat Guru yang berjalan di atas air. Seolah tubuhnya jadi seringan kapas.

Kami tak bisa berlama-lama bertahan di lantai dua rumah kami. Udara dingin dan makanan yang terbatas membuat kami ingin segera bebas dari kepungan banjir. Maka meminum serbuk yang diberikan Guru adalah jalan terbaik.

Mula-mula ayahku yang meminum serbuk itu, diikuti adik dan ibuku. Ayah dan adikku begitu saja melompat ke air dengan harapan langsung bisa berjalan. Tapi, kengerian itu terlihat di depan mataku. Ayah dan adikku tidak bisa berjalan di atas air. Mereka terseret banjir! Teriakan minta tolong terdengar memilukan. Ibuku meraung-raung.

Baca juga  Memendam Luka di Kebun

Aku tak membiarkan ayah dan adikku ditelan banjir. Aku tahu mereka berdua tak bisa berenang, begitu juga aku. Dalam kepanikan, kutelan serbuk dari pemberian Guru. Aku merapal doa dalam hati. Namun, sama saja. Aku tak bisa berjalan di atas air. Tubuhku hanyut. Menangis tak ada gunanya. Kudengar ibu makin meraung. Dalam hati aku bertanya: pertanda apa ini semua? ***

.

.

A Zakky Zulhazmi. Penulis adalah pengajar di IAIN Surakarta.

.

Guru (2). Guru (2). Guru (2).

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!