Setelahnya patah yang menahun, aku menapaki sedikit demi sedikit kehidupan dan berusaha merdeka atas perasaan cinta yang tak seharusnya menghantui dengan sangat menyeramkan. Jika memang cinta adalah kebebasan, maka aku ingin bebas dari rasa padamu, pun begitu kau tak pernah memedulikan perjuanganku, atau malah merasa aku adalah pria yang menjijikan. Tapi tak apa, itu adalah ideologi cinta, terkadang ia dipandang menjijikan, terkadang sebagai yang terkuat atau menguatkan.
Sudah saatnya sebagai manusia yang ingin mencintai kembali seharusnya melupakan perasaan yang dulu telah tertolak dengan mentah, dan benar saja itu menjadi pelajaran yang sangat berharga, terimakasih ya, darimu aku belajar bahwa cinta tidak harus memiliki, pun jika aku memiliki itu akan menyakitimu karena bagiku segala apa yang dimiliki manusia dalam bentuk yang terlihat pasti akan hancur berkeping-keping minimal jika manusia yang dimiliki manusia ia akan disakiti dalam hal apapun.
Dulu saat galang dana pertama, aku masih saja mencintaimu dalam hal entah apa itu, aku masih memandangimu dari kejauhan ketika kau meminta sumbangan dari pengendara di persimpangan lampu merah itu, aku masih berusaha mencuri perhatian yang dalam padamu, aku masih berusaha bertutur kata yang baik padamu, masih berusaha menjaga kerapian rambutku, masih berusaha tidak merokok depanmu, tapi aku sadar bahwa itu semua bukanlah cinta, tapi rasa sakit yang terus aku lahirkan dalam diri sendiri, bukankah cinta adalah kebebasan, maka dari itu aku memilih untuk bebas dalam mencintaimu, dan merdeka atas perasaan ini.
Kau tipe wanita rasional sedangkan aku adalah pria yang selalu memiliki khayalan yang mungkin tak semua orang pikirkan. Bayangkan saja, aku menghayal untuk bisa memenangkan hatimu dan sangat berkeinginan mewujudkan itu, namun ternyata tak seindah yang dibayangkan, aku tersungkur ke dalam jurang selama kurang lebih 3 tahun dan kembali mendaki mencari jalan keluar dengan cara membaca tulisan Khalil Gibran, Jalaluddin Rumi dan penyair tersohor lainnya hingga mendapatkan jawaban bahwa “cinta adalah kebebasan”, maka dari itu aku harus bisa lupa dan mengendalikan rasa ini bahwa “siapa yang kita cintai belum tentu bisa kita miliki”.
Hari ini di lembaga pers mahasiswa, organisasi yang sangat sibuk, setiap hari hanya deadline yang menghantui kru di dalamnya, mulai dari cetak majalah, newsletter, talkshow, liputan berita harian. Inilah tugas seorang jurnalis kampus, belajar menjadi seorang jurnalis yang memiliki mental kuat. Kru organisasi ini tidak hanya mengerjakan tugas seorang jurnalis saja tapi juga pekerjaan sosial lainnya seperti galang dana, dan setiap setengah tahun sekali pun organisasi ini melakukan open recruitment bagi mahasiswa baru atau semester bawah. Banyak sesi yang di lakukan seperti wawancara dan memberikan hasil karya mereka dalam bentuk tulisan, ini guna untuk memastikan minat dan bakat mereka.
Entahlah saat itu aku mewawancarainya, aku bertanya tentang isu hangat yang sedang terjadi saat itu. Sebagai melihat sisi kepekaan mereka terhadap pemberitaan masa kini. Beberapa mereka mengatakan aku cukup kejam saat sesi wawancara, tapi ya begitulah, mungkin saja mereka belum mengenal dengan lebih dekat lagi. Memang benar pepatah yang mengatakan “tak kenal maka tak sayang.”
Sudah banyak momen yang aku lalui bersamamu, tapi aku tidak pernah menyadari perasaan ini. Perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Mungkin saat itu aku masih terkungkung oleh perasaan yang sama sehingga membuatku sulit untuk menebak kembali rasa baru yang hadir entah itu cinta atau hanya sekadar suka. Tepatnya rasa kepadamu, Amita. Pada saat galang dana, kedua pun aku sebenarnya bertanya dalam hati siapakah kau? Aku hampir tidak melihatmu pada acara-acara di organisasi ini, pun aku senior tapi pada saat kau masuk organisasi ini kau sudah mengalami cukup banyak acara penting seperti musyawarah besar dan pendidikan dasar. Pada saat galang dana kedua, aku melihat jemarimu sibuk memencat tombol di kamera. Sebagai senior yang kesal aku memanggil dan memerintahkanmu untuk memegang kotak sumbangan dan sebaiknya kamera itu kau berikan pada teman yang lain.
Kembalinya dari galang dana, tubuhku terasa lelah yang bercampur lillah, insya Allah. Aku terpikir, kau yang memotretku dengan anak jalanan malang yang menggunakan kostum tokoh kartun, momen itulah yang paling membekas. Dan aku memastikan kembali peasaan bahwa apa yang sebenarnya terjadi. Ini adalah rasa tanpa aba-aba, entahlah bagaimana akhirnya apakah memberi luka atau jika aku beruntung akan memberi bahagia. Perasaan memang seperti jamur yang tumbuh di bawah bongkahan kayu, semakin di biarkan maka ia akan semakin menumpuk dan akhirnya berujung menggebu. Aku tak ingin seperti itu sudah cukup dahulu terlalu menggebu dengan wanita yang aku sukai. Sekarang aku ingin lebih rileks agar dapat mengontrol perasaan dan setelahnya dapat mengonsep lebih baik apa yang harus aku lakukan sehingga mendapatkan jawaban dengan cara terbaik.
“Bal, besok ada liputan acara HMJ pagi-pagi, segera liput ya, dan berita wajib naik,” ucap pimpinan redaksi di organisasi ini. “Oke, pimred, laksanakan,” jawabku. “Oh iya, bawa junior ya, biar nanti ajarin juga di lapangan bagaimana,” tegasnya. Keesokan harinya, aku mengajak kau Amita, bukan tanpa sebab, selain menyukaimu, aku juga ingin kau mengetahui bagaimana bekerja di lapangan, bagaimana caranya mencari narasumber dan bagaimana cara mengajukan pertanyaan yang baik kepada narasumber. Ketika di lapangan aku sama sekali tidak ingin menyangkutkan perasaan padamu.
Sepulangnya dari pekerjaan ini, aku melihat kau begitu laju dalam berkendara, menyalip kendaraan lain dengan begitu lihai, kau juga periang, aku yakin di balik pembawaanmu yang tomboy itu kau adalah pribadi yang manja, itu dapat dilihat saat berbicara dengan teman wanitamu. Berbeda denganku yang begitu kaku bahkan tertawa pun jarang. Tapi pribadi sepertimu sangat dibutuhkan karena bagaimanapun aku juga ingin bisa tertawa lepas dan terlihat bahagia.
Selain kuliah dan berorganisasi, aku yang bekerja sebagai barista sangat tertarik denganmu yang menyukai americano, kini setiap kali aku membuat menu americano, itu sudah tercampur oleh rasa padamu atau minimal saat membuatnya pasti terngiang wajahmu, walaupun kau belum pernah merasakan americano buatanku. Akhir-akhir ini langit dan bulan begitu menunjukan keindahan mereka, aku memang menyukai bulan, entah mengapa ketika melihatnya aku terngiang kembali dan tanpa aba-aba aku memotretnya di kamera telepon dan mengirimnya padamu serta mencantumkan pesan singkat. Puisimu aku suka dan yakin setiap bait puisimu bermakna seseorang yang entah siapa, kau terlalu mengharapkannya sampai bahwa dirimu begitu mahal untuk berharap. Aku saja tidak berani menyakitimu, karena wanita setulus itu tidak boleh mengeluarkan air mata dengan percuma.
Di saat tatapan pertama hingga perbincangan kita mengenai hal apapun, tak sedikitpun aku berharap hal yang lebih, biarlah matamu pudar pada tatapanku dan biarlah manismu menjadi milik sesiapun yang kau inginkan, bukankah seperti yang kubilang cinta adalah kebebasan; membebaskan siapapun yang kita cintai, tidak memaksakan kehendak untuk memiliki. Jika bicara cinta aku merasa mencintaimu membutuhkan keahlian khusus atau minimal harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi.
Aku memberanikan diri untuk menyatakan apa yang seharusnya tak kunyatakan dalam hal tertarik, tapi sebaik-bainya akal mengonsep perasaan yang hadir, pasti akan kalah dengan jiwa yang menggebu. Aku mengirim pesan singkat yang menyatakan kau adalah bintang yang bersinar, dan ingin kau menikmati americino panas buatanku, melihat bulan di bibir pantai, menikmati malam di taman bersama lampu kota dan seluruh apa yang menyangkut kebahagiaan ingin kuberikan padamu. Seperti yang kubilang bahwa mencintaimu membutuhkan keahlian khusus yaitu kesabaran dan kesiapan untuk menerima jawaban darimu.
Iqbal Putra Suheri. Penulis adalah mahasiswa semester V FAPERTA UMSU. Aktif berorganisasi di LPM Teropong UMSU.
Leave a Reply